Errr~ sehari? Atau dua hari?
Chagiya itu ya, kuat banget untuk urusan diam-diaman. Aku yang nggak kuat. Siapa sih, yang tahan lama-lama dicuekin sama pasangan? :(
Tapi Chagiya-ku itu lucu. Dia masih mau balas BBM kok, meski cuma sedikit-sedikit. Singkat-Singkat.
"Jangan lupa makan, ya..." | "Ya"
"Kamu suda makan kah?" | "Blm"
"Oyasumii~ Love you..." | "Too"
Istimewah kok, pokoknya! >_<
As long as he's fine, sih. Tapi tetap saja.
Stalking via PM dengan konversasi langsung di chat BBM jelas-jelas berbeda. Intensitas dan intiminitas(?)-nya pasti akan jauh lebih baik kalau melalui chatting. Aku bisa tahu kabarnya langsung dari dia sendiri, bukan lagi berdasarkan spekulasi. Lagian ya, pasangan sendiri kok di-stalk. *smirk*
Rencananya per hari ini, dalam rangka memasuki Bulan Ramadhan kantor off sejam lebih awal. Makin banyak nganggurnya. :(
Dunno what to do. Apa aku ke tempat Ay-chan saja? Ya, berhubung ini malam minggu, dan selagi belum bisa memastikan Chagiya akan membaik kapan.
It's better for me not to disturb him for awhile, I guess.
***
Jam 08:30 PM, sepulang tarawih.
Sore tadi, Ao-chan menepati janjinya, setelah berhari-hari sebelumnya mbulet. Dia menjemput di kantor beberapa menit lewat dari jam tiga sore. Kami sepakat pergi main ke rumah Ay-chan. Sudah lama juga aku nggak ke sana. Hitung-hitung penghiburan, lah. Beruntung dua sahabatku mau meluangkan waktunya untuk menuruti keegoisanku. *hug*
Dari kantor kami mampir sebentar ke tempat ayah Nita, temanku yang buka lapak baju online. Siang tadi aku dikabari kalau salah satu dress pesananku datang. Benar-benar the-power-of-sekalian-jalan. Dari Jalan Majapahit kami langsung putar balik lewat Joko Sambang menuju barat, mengambil rute paling efektif ke arah Pulo.
Sudah hafal mati situasi lingkungan rumah bak istana kediaman keluarga Ay-chan. Berbeda dengan Ao-chan yang tampak agak canggung, aku terbiasa cuek-beretika ketika berada di rumah Ayuchan-hime. ;) Pas awal-awal dulu memang kikuk. Memasuki tempat yang sama sekali lain dari lingkunganku. Bukan rahasia lagi kalau Ay-chan itu tuan putri, dan kami yang (mengaku) sahabat-sahabatnya ini cuma rakyat jelata. Kepedean masuk-masuk istana dan sok akrab dengan sang putri.
Jadi ingat, ada seorang teman adikku. Dia bilang rumahnya daerah Pulo, di jalan rayanya, dekat musholah. Sewaktu kukatakan aku punya teman yang tinggal di daerah situ, dia bertanya, siapa. Karena menurutnya dia kenal hampir seluruh penduduk di sana.
"Marinda Ayu," jawabku. "Biasanya dipanggil Ayu,"
Namanya asing. Si teman adik tadi nggak merasa kenal.
"Masa?" aku nggak percaya. Ancer-ancer rumah mereka sama kok. "Rumahnya depan pos ketiga warna pink, sampingnya musholah!" aku ngotot.
Cewek itu bingung. "Sebelah musholah kan, rumah yang besar itu, kan?" ia bertanya nyaris menjerit.
Aku mengangguk heboh. "Iya, itu benar! Rumah besar itu!" Memang, kok. Istana itu luar biasa besar lagi luas untuk sekadar disebut sebagai 'rumah'.
Yang lucu adalah ekspresi si cewek ketika aku terus meyakinkan bahwa dia nggak salah sangka. Bahwa putri sulung empunya rumah besar itu memang temanku, sahabatku. Dan aku bukannya cuma ngaku-ngaku saja. (ngapain juga! -_-) Ya, masuk akal sih, kalau dia setengah percaya. 'Ay-chan yang seperti itu' berteman baik dengan orang 'seperti aku ini'. Hahahaha... Begitu ya? Dalam pandangan orang lain bisa jadi kami sangat kontras. :P
Sejak Ay-chan membantu usaha orang tuanya dan sempat punya kantor di bagian belakang rumah (jadi kalau mau bertemu lebih privat, sebaiknya langsung masuk lewat jalan belakang yang terhubung langsung dengan 'kantor'nya Ay-chan), aku selalu otomatis membelokkan motor melewati sebuah gang kecil menuju jalan belakang. Ao-chan saja yang baru tahu hal ini.
Kami disambut mbak-mbak yang sedang mengepel lantai. Masih agak basah. Agak sungkan (karena ruangan baru saja dibersihkan) kami masuk dan segera mendudukkan diri di sofa terdekat. Kami berada di sebuah ruangan yang dulunya kantor Ay-chan. Tampak lebih luas karena hampir tidak banyak perabot yang terlihat. Jauh berbeda dengan saat aku kemari pertama kali. Penuh dengan meja kantor dan komputer. Hanya tersisa sebuah
springbed berukuran sedang di pojok ruangan. Sisi yang berlawanan dari tempat kami. Hampir tidak terlihat.
Setelah sebelumnya menyilakan kami masuk, mbak-mbak tadi lantas memanggilkan Ay-chan yang segera muncul dari dalam rumah induk. (kyaa~ "ru-mah-in-duk" xD) Ia mengajak kami untuk pindah ke ruang utama saja.
Menggelarkan karpet, Ay-chan membiarkanku merebahkan diri dan berguling-guling, sementara Ao-chan masih memindai seluruh isi rumah dengan kekaguman maksimal. Aku juga, tentu saja. Tapi aku sudah jauh lebih terbiasa. TV berlangganan sedang memutarkan film kartun berjudul 'Hotel Transylvania' tapi aku lebih tertarik dengan obrolan kami bertiga. Setelah mbak-mbak tadi menyelesaikan tugasnya, rupanya Ay-chan sendirian.
Topik-topik seputar dunia cewek, romansa, curhat-curhat pribadi dan beberapa tema random lain menyita waktu kami. Aku sangat senang, juga bersyukur. Aku memiliki teman-teman seperti Ay-chan dan Ao-chan yang selalu menghargai
quality time kami, meski kami memang nggak sering bertemu.
Aku tahu mereka berdua sedang membereskan skripsinya dan sebentar lagi akan wisuda. Aku ikut gembira mendengarnya. Tentang Ao-chan yang sudah mulai mencoba lebih terbuka dan memperbanyak pergaulan, alhamdulillah. Tentang keduanya yang galau mencari pekerjaan selepas lulus, aku hanya tertawa. Bahwa mereka sudah dibekali wejangan "hidup bermasyarakat jauh lebih kejam daripada bangku sekolah atau kuliah". Soal itu sih, aku yang nggak kuliah juga bisa tahu.
Baiklah, di antara kami bertiga barangkali aku saja yang tersangkut kasus cinta-cintaan (pinjam istilah Ay-chan). An-chan dan Az-chan sudah menikah dan melahirkan buah hati mereka dengan suami masing-masing.
Then Qi-chan, she has a boyfriend already. While these two girl have no clue about romance. Masih sangat suci. Hati dan fisik mereka belum pernah mengenal pacaran. Aku? Hahahaha... Y
ou know what kind of colour I am.
Jadilah, aku membuka sesi konsultasi tentang itu. Ya karena aku lebih berpengalaman(?) dari mereka tentu saja. Tanpa maksud menggurui atau sok tahu, bahkan mempengaruhi mereka untuk masuk dalam dunia yang sama sepertiku. Aku nggak pernah mengklaim diriku paling baik sendiri.
No way! Tapi paling nggak mereka akan sedikit punya wawasan tentang pendapat awam di luar sana, yang kadang mengesampingkan moral, etika, dan bahkan agama. Bahwa bukan hanya masalah pekerjaan saja yang butuh
struggle, dalam usaha mendapatkan cinta pun sama.
Tanpa terasa menjelang maghrib. Ao-chan dan aku hendak berbuka untuk kali pertama, sedangkan Ay-chan baru akan melaksanakan sholat tarawih isya' ini. Kami sepakat untuk ngabuburit di
Hatchiku, dua sahabatku ini sama sekali belum pernah menjajal makanan jepang di sana.
Obrolan yang sempat terhenti kembali dilanjutkan. Masih seputar topik yang sama, itu kan bahasan paling menarik. ;) Aku pun mulai membuka cerita tentang hubunganku dengan Chagiya yang bersambung. Menceritakan hal tersebut pada mereka sama seperti bercerita pada diri sendiri. Rupanya banyak sekali yang sudah kulalui di belakang. Bersama Chagi, maupun dengan yang sebelum ia.
Sushi-sushi kami datang sementara Ay-chan memesan
Beef Teriyaki. Senin lalu aku sudah mencoba beberapa jenis sushi dan penasaran ingin mencoba menu sushi lainnya. Kupesan
Cappuccino Float untuk minumanku, sedangkan dua gadis itu kompak memesan
Chocolate Float. Kami berbuka sambil meneruskan obrolan yang nyaris nggak bisa dihentikan oleh apapun, selain fakta bahwa kami belum sholat maghrib. *omo* >_<
Berboncengan Ay-chan dan aku kembali ke rumah Pulo. Ao-chan pamit. Memisahkan diri untuk langsung pulang karena jarak tempuh rumahnyalah yang paling jauh. Kami menyilakannya dan berpisah di persimpangan. Apa boleh buat, keterbatasan jam main.
Sesampainya di rumah Ay-chan, ternyata orangtuanya sudah datang. Sungkan sekaliii... Selalu saja ada perasaan bahwa aku sudah mengajari Ay-chan sesuatu yang negatif dan memengaruhinya yang nggak-nggak. Akhirnya seusai sholat maghrib, karena sudah nggak ada lagi yang akan kami kerjakan, aku pamit pulang.
Sudah kuduga. Yang namanya morfin, dopingan, dan sebagainya cuma sementara yang punya batasan waktu.
I've had my quality time with besties, tapi setelah semua berakhir dan kami harus pulang (memburu sholat tarawih di masjid), segera saja aku kepikiran tentang Chagiya sepanjang perjalanan. Ya, setengah dari niatanku main sore ini memang dalam rangka menghibur hatiku agar nggak sedih berkepanjangan.
Aku ingat mengiriminya sebuah foto sunset yang kuambil sendiri. Tapi sayang, BBM pending. Ada kekhawatiran foto tersebut nggak akan
deliv pada akhirnya. Chagiya masih pasif. Aku takut mengganggunya tapi sudah rindu benar. Sesampainya di rumah pun, belum ada perubahan status. Apa boleh buat, aku cuma bisa mengirimkan teks "met tarawih" saja padanya, dan rupanya (surprised!) dibalas.
Tahu dia juga sedang berusaha menata hatinya, aku menahan diri untuk nggak memaksanya ngobrol lebih lama. Hanya sedikit-sedikit, tapi dia sudah mau melakukan percakapan rutin kami (hampir) seperti semula. Betapa melegakan... *nggeblak*
Alhamdulillah, Gusti... Semoga ini merupakan satu langkah bagi kami untuk saling mendewasakan diri. Berselisih tidak untuk menjadikan jauh, namun justru sebagi titik pendekat. Aamiin...