***
Lorong sekolah tak ubahnya pasar saat harga barang dapur sedang turun drastis. Sangat ramai. Ratusan siswa berkerumun di depan papan pengumuman. Berdesak-desakan, saling dorong. Ricuh sekali. Mereka pasti siswa baru, sama sepertiku, harap-harap cemas ingin tahu di kelas mana akan ditempatkan untuk setahun ke depan.
Dua puluh menit menunggu, gelombang siswa yang berjejalan di sekitar satu-satunya papan pengumuman belum mereda. Aku belum juga mendapatkan kesempatan mencari tahu kelasku. Ini sangat tidak adil bagi orang-orang bertubuh kecil lagi pendek sepertiku. Jangankan bisa mencermati daftar pembagian kelas dengan jelas, mendekati lautan manusia itu saja rasanya mustahil. Tubuh-tubuh di sana sudah pasti jauh lebih besar. Membayangkannya saja aku ngeri.
Dan aku terus mendengar suara yang sama. Berasal dari seorang siswa jangkung yang berteriak beberapa kali pada sekawanan siswa di luar kerumunan. Beberapa dari mereka balik meneriakkan nama-nama lain. Si jangkung kembali memindai papan pengumunan, berseru lagi menyebutkan kelas si penanya. Rupanya siswa itu tengah membantu teman-temannya menemukan kelas-kelas mereka.
Tanpa sadar aku memerhatikan. Tubuh kurus menjulang dengan suara lantang beraksen khas Jawa Tengah yang kental, ia sangat mencolok dan seketika menyedot segenap perhatianku.
Kuamati lagi ia cenderung berkulit agak gelap dari kebanyakan siswa yang berasal kota ini. Rambutnya ikal dengan potongan yang pas. Ia mempunyai raut wajah yang tegas, namun tampak hangat dan bersahabat. Apalagi senyumannya. Tawa si jangkung itu. Sepasang gigi gingsul-nya terlihat di balik bibir setiap kali ia tertawa lebar.
Manis sekali, Ya Tuhan... Ah, seandainya aku mengenal siswa jangkung baik hati itu, ia pasti mau membantu menemukan kelasku. Terus saja aku memerhatikannya.
Secara ajaib ia tiba-tiba menoleh ke arahku. Mata kami bersitatap. Selama 10 detik. Sepuluh detik yang terasa selamanya dan tahu-tahu dadaku bergemuruh saat siswa jangkung itu melemparkan senyum. Padaku.
"Hei, kamu!" ia melambaikan tangan, setengah berteriak. Jelas-jelas sedang berbicara padaku. "Iya, yang berjaket Milan! Namamu?"Bodohnya, aku refleks mengarahkan jari telunjuk ke hidungku sendiri alih-alih langsung menjawabnya. Aku melihatnya mengangguk. Masih dengan senyum lebarnya yang manis.
"Riza Chanifa! C-H-A! Pakai 'Ce-Ha', Chanifa! Nomor 11477!" aku takut ia tidak mendengarku dengan jelas. Namaku menggunakan ejaan yang sedikit tidak lazim.
Namun kemudian ia mengacungkan ibu jarinya. Tanda mengerti. Mengalihkan pandangannya pada papan pengumuman. Mencarikan namaku. "Sepuluh E!" serunya beberapa saat kemudian. Ia tersenyum lagi. Apa tersenyum itu memang hobinya?Tanpa kusadari aku pun ikut tersenyum. Jantungku yang sudah bertingkah aneh sejak tadi makin dag-dig-dug sejadi-jadinya. Gawat! Semakin lama kunikmati senyumannya, semakin gemuruh dalam dada ini tak terkendalikan. Gugup. Jarak kami cukup jauh, tapi aku merasa takut suara degup jantungku akan terdengar sampai ke tempatnya. Sayangnya, saat hendak mendekat untuk sekadar mengucapkan terima kasih, siswa jangkung itu sudah tidak terlihat lagi.
Senyuman di bibirku pun surut.
Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Inikah yang disebut-sebut sebagai cinta pada pandangan pertama? Terasa begitu manis dan indah. Jemariku bergetar saking berdebarnya. Menikmati senyumannya benar-benar melenakan dan membuatku ingin tersenyum juga. Lalu ada cemas, gelisah, malu. Juga terbit kecewa, saat aku tidak sempat menanyakan namanya.
Tuhan... Aku niat masuk ke sekolah idamanku ini untuk belajar. Tapi apa yang terjadi? Tidak pernah terpikir aku yang introvert dan serba biasa saja ini akan bisa merasakan jatuh cinta. Kalau memang bukan cinta, lalu perasaan apa yang kurasakan padanya kini? Kali pertama aku jatuh cinta pada pandangan yang pertama pula, kepada dirinya. Begitu tiba-tiba, begitu cepat, dan tidak terelakkan. Tidak bisa kupalingkan hati ini darinya, Tuhan...
***
Selang beberapa bulan kemudian, barulah aku mengetahui namanya. Kelasnya, hobinya, makanan kesukaannya, film anime favoritnya, sampai genre musik yang sering kami bagi bersama. Semua hal tentang si jangkung, dengan murah hati diberitahukan oleh Tuhan padaku. Aku lebih suka menyebutnya 'takdir' karena siapa sangka, aku ternyata punya begitu banyak persamaan selera dengan seseorang yang kucinta? Singkat kata, aku dan si jangkung mulai bersahabat.
Apa cintaku padanya akan bisa berbalas dengan mudah? Karena ia adalah sahabatku dan kami sangat dekat? Sayangnya tidak. Aku memang masih sangat menyukainya, sekaligus tak ingin ia tahu. Tidak rela rasanya mengorbankan persahabatan kami demi perasaanku yang bisa jadi cuma sepihak. Mau bagaimana lagi? Saat kami naik kelas sebelas, ia jadian dengan seorang adik kelas. Kala itu hatiku begitu terluka. Hancur. Sedihnya luar biasa. Benar-benar merasa kalah. Tapi aku tahu, aku tidak akan pernah mampu untuk kehilangannya.
Apa lalu aku menyerah? Tidak. Aku masih selalu menyukainya. Kusukai apapun darinya, apapun tentangnya. Sekalipun dia bukan kekasihku. Sekalipun yang bisa kulakukan cuma mencintainya secara sepihak. Dengan diam-diam tanpa sepengetahuan dirinya, aku ingin menjaga kebahagiaannya. Ingin lebih banyak menikmati senyumannya. Ingin selalu mendukungnya, bahkan saat harus mendampinginya kala cintanya dengan sang gadis, kandas.
Percayakah? Cinta pertamaku di kali pertama berpandangan dengannya, masih tetap ada. Semakin bertumbuh seiring berjalannya waktu. Lambat laun aku pun membiarkannya mengetahui perasaan yang selama ini kusimpan untuknya. Menyerahkan semua seperti aliran air sesuai yang dikehendaki Tuhan.
***
Juli, 2014.
Aku masih seorang gadis introvert yang memercayai cinta pada pandangan pertama. Menyimpan dan menumbuhkan cinta itu sebaik yang kubisa.Pun masih aku bersahabat dengan si jangkung yang selalu kucintai hingga kini. Ia pun masih tetap seorang pemuda jangkung baik hati, dengan logat Jawa Tengah yang aku suka sekali mendengarnya berbicara. Bedanya hanya satu, selain sahabat ia sekarang berstatus sebagai pasanganku. Ya, setelah delapan tahun, sekarang aku menjadi gadisnya. :)
Maka, apa lagi yang bisa lebih membahagiakan dari ini?
NB. Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba menulis #NovelSecondChance by @NovelAddict_ dan @GlennAlexei
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*