Sayangnya dari tempatku (perumahan kecil di tengah kota kecil Mojokerto) GMT nggak bisa disaksikan. Karena ya, selain bukan kawasan khatulistiwa, Mojokerto kurang area terbuka (pantai misalnya). Sarana untuk mengamati langit pun nggak ada. Ya apa boleh buat. Disyukuri saja dengan melaksanakan sholat gerhana berjamaah di masjid setempat lalu menikmati GMT dari layar kaca yang luckily menyiarkan fenomena alam menakjubkan tersebut secara live.
Banyak yang kecele sih, berharap bisa menyaksikan langsung GMT dari rumah masing-masing. Naif sekali. Mbok ya sadar, kebagian aura 'mendung'nya sedikit-sedikit saja sudah bagus, di luar negeri malah nggak ngefek sama sekali, loh. :D Hal sama berlaku untuk turis-turis asing tersebut yang rela jauh-jauh bertandang ke Indonesia demi menonton fenomena alam langka yang berlangsung nggak lebih dari 20 menit dengan mata kepala sendiri. *salut*
Here's the doogle |
Its kinda interesting. Benar-benar menarik perhatian pengguna Google yang suka dengan remeh-temeh sepertiku ini. Selain ada konten tersendiri tentang tema terkait--yang pastinya penuh informasi--, doodle ini bisa difungsikan untuk promosi dengan menggaet makin banyak pengguna internet untuk mengakses www.google.com. Ya pokoknya lucu dan kini (entah sejak kapan) bisa dijalankan via Chrome di Akaharu. Asyik, kan? Jadi makin rajin nge-blog, deh. :3
Pembahasan menarik lain yaitu tentang mitos-mitos berkaitan dengan GMT yang sering dihubung-hubungkan dengan Bhatara Kala (raksasa pemakan matahari, dipercaya pembawa petaka). Dahulu masyarakat primitif percaya bahwa fenomena gerhana adalah saat di mana matahari/bulan lenyap 'dimakan' oleh Sang Bathara Kala. Ketakutan dalam kegelapan yang mendadak mendadak menyelimuti cakrawala, masyarakat bersembunyi tidak selangkah pun keluar dari rumah, beberapa membuat bunyi-bunyian bising dengan harapan dapat mengusir raksasa, menghalaunya memakan benda langit.
Dahulu fenomena gerhana--terutama gerhana matahari--memang amat ditakuti. Selain masih terikat dongeng, mitos, faktanya melihat/'bersentuhan' langsung dengan matahari saat gerhana memang berbahaya. Selain menyebabkan kebutaan bila dilihat dengan mata telanjang, radiasi sinar UV yang memancar dapat merusak kulit manusia. Jadi sebaiknya bila nggak ada urusan mendesak lebih baik berdiam diri di rumah, untuk sementara nggak keluar dulu.
Selanjutnya ada pula tradisi ngliwet, ibu hamil/keluarga mengadakan liwetan (syukuran) di hari terjadinya gerhana matahari, dengan tujuan agar ibu dan bayi selamat, dijauhkan dari marabahaya hingga saat kelahiran. Pihak lain menyebutkan ngliwet sebagai bentuk dari sedekah.
Me? Of course, I(we) didn't do that thing. Nggak apa-apa, hanya bukan tipikal yang akan melaksakan ritual 'kejawen' semacam itu. Bukan meremehkan ya, ini murni hanya tentang prinsip dan sudut pandang. Dan yang kupegang teguh adalah amalan-amalan yang pernah Rasullullah lakukan, lain enggak. Acara tingkepan kemarin kan pihak mertua yang mengadakan, not me personaly. :P Mamak juga sempat berpesan untuk melakukan 'sesuatu' terhadap janin dalam kandunganku bertepatan gerhana tiba, well I did. Aku mengajak Aris untuk berdoa dengan niat kepada Allah Ta'ala semata, dan bukan yang lain. Mengenai syukuran/sedekah? Ya kan nggak harus sengaja dikait-kaitkan dengan gerhana. Sedekah tanda bukti syukur kita bisa dilakukan kapan saja meski nggak ada gerhana. Bukan begitu bukan?
Bagaimana dengan semangat GMT kalian? Ciao bella~~
*)original draft on March 9th yang baru diposting hari ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*