Pernah
aku melihat senyummu dalam remang malam. Pada batas nyata dan khayalan. Kau
membagi tawamu, dan memerangkapku di sana. Dalam hangat yang jiwamu ciptakan
pada detik harapan baruku terlahir.
Dan
aku jatuh cinta padamu begitu saja. Bukan pada kali pertama kita bersama-sama
menikmati senja. Tapi jauh sebelum itu. Hatiku sudah tertambat padamu sejak
lama. Sejak takdir mengeratkan genggaman tanganmu pada tepian gelisahku. Jika
tak kau temukan, mungkin serpihan diri ini akan hilang. Hanyut entah ke mana
terbawa arus kehidupan.
Maka
mungkin ini jawaban dari berjuta doa yang kumohonkan. Dari luasnya samudera
mimpi yang ingin kuwujudkan. Kau, dirimu, adalah yang sangat kuinginkan untuk
diriku sendiri. Kau yang paling kucintai, paling ajaib yang pernah Tuhan
anugerahkan. Tidak bisa digantikan orang lain. Mustahil jika bukan dirimu.
Bahagiamu adalah bahagiaku. Keberadaanmu adalah hidupku. Aku tidak bisa meminta
apapun lagi selain kerelaanmu agar juga menginginkan aku.
***
Aku
mengenal genggaman tangan itu. Mengingat betul setiap lekuk jemari. Merekam
jelas hangatnya yang tercipta dalam sudut kecil hatiku. Ku kenali bayangan itu.
Bayanganmu yang selalu kurindukan. Keberadaan yang menerbitkan haru biru.
Satu-satunya di dunia yang membuatku melayang.
Aku
jatuh cinta pada tawa lepas dari sudut bibirmu. Aku jatuh cinta pada
kelakar-kelakar. Pada detingan gitar, pada besarnya perlindungan yang kau
berikan. Tanpa syarat, tanpa terikat. Aku mencintaimu begitu saja. Begitu
membuka mata dan dirimulah segalanya. Aku merindukanmu tak peduli waktu.
Persetan dengan orang lain yang meragu. Yang ku tahu aku menginginkanmu jadi
milikku.
***
Tiada
yang lebih menyakitkan daripada melihatmu sakit. Tak ada yang lebih mengiris
hatiku selain menjumpai tangismu. Airmata dan dukamu yang bukan untukku.
Pandanganmu yang seolah tak pernah lepas darinya. Dia yang mengabaikanmu. Dia
yang seharusnya tak lagi berhak mendapatkan cintamu.
Kenapa
bukan aku? Kenapa bukan aku yang mampu menyembuhkan luka hatimu? Kenapa bukan
aku yang bisa membahagiakanmu? Kenapa itu bukan aku, aku yang rela menyerahkan
segalaku buatmu? Tidak adakah yang bisa kulakukan untuk sekedar membunuh jarak
pada hati kita, dan kembali lagi seperti dulu?
***
Diam
menghampiri. Nyaris tanpa bosan mengajakku menari. Tapi bayanganku bahkan tak
beranjak. Hampir lelah kuperbaiki jalan hatiku yang mulai retak. Sedang langkah
ini searah ke mana angin membawamu pergi. Tak peduli seperti apa, bersamamu aku
seperti mendapatkan kembali semua inderaku.
Aku
buta dan kau memperlihatkanku cinta. Aku tuli dan kau tak pernah jemu
bernyanyi. Aku bisu, tapi sejatinya kau mengerti isi hatiku. Lumpuh pun, mati
rasapun aku masih bisa menyentuh bayanganmu. Mimpimu. Cintamu (yang dulu)
untukku.
Demi
setiap kecup, rengkuh, dan cinta kasih, detikku berirama detak jantungmu.
Seberapa jauh egoismu pergi aku akan menunggu. Mendoakanmu kembali padaku.
Sekali lagi. Lalu selamanya kita (akan) bisa bahagia bersama.