Sering
aku berpikir, sama sekali tidak ada bagusnya menjadi seorang ‘aku’. Sungguh,
tidak ada bagusnya menjadi aku. Berusaha menjadi orang lain itu benar-benar
melelahkan. Terasa konyol dan menyedihkan. Dan aku sudah terlalu mahir untuk
itu, hingga tidak tahu lagi diriku yang sebenarnya seperti apa.
Aku tumbuh dengan mendoktrin diriku sendiri: lakukan sesuai perintah tanpa membantah, dengan begitu orang dewasa akan puas dan tidak lagi mengusikmu. Sekalipun itu aneh, sulit, dan tidak sesuai dengan logikamu. Biar saja. Karena bagi ‘orang dewasa’ ketika kau melakukan tepat seperti yang mereka inginkan, maka kau ‘hebat’, ‘pintar’. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya kau mungkin akan mendapat hujatan. Dinilai tidak menurut atau pembangkang.
Dan aku sudah kenyang disebut begitu. Mulanya masih kupertanyakan tentang apa-apa yang sebaiknya kulakukan dan apa yang para orang dewasa ingin aku hindari. Tapi lama-kelamaan aku muak. Persetan dengan keinginanku yang selalu jadi debu. Kata-kata seorang anak ingusan sama sekali tidak berarti.
Jadilah
kusegel rapi suara hatiku. Hanya kubuka jika aku sudah terlalu rindu.
Selebihnya kuciptakan pribadi ideal yang bisa meluluskan segala tuntutan orang
dewasa padaku. Yang mereka tahu aku selalu tersenyum. Bertutur kata dengan
baik, berperilaku sopan, seorang penurut. Atau itu jin penjaga lampu ajaib
pengabul segala? Dan mereka tidak akan peduli aku ingin apa,
pendapatku bagaimana. Munafik?
Iya, setidaknya di pikiran mereka aku memuaskan. Hahaha.
Dan ingatanku ada di dua persimpangan: sebelum dan sesudah
ayah tiada. Fase sebelum kepergian ayah berisi kenangan-kenangan serba bahagia.
Bahwa aku adalah cucu perempuan yang dinanti dan dijanjikan limpahan cinta dari
kedua pihak keluarga besar Ayah dan Bunda. Lia kecil yang cepat pintar dan Ayah-Bunda
yang begitu bangga akan prestasiku dari anak-anak lain sepantaran. Lalu adik-adikku
lahir dan Ayah akhirnya mampu menghadiahi Bunda sebuah rumah kecil untuk
keluarga kecil kami. Berlima, kami sungguh berbahagia lebih dari
keluarga-keluarga lain walau yang kami punya hanya dua buah sepeda tua, bukan kendaraan
motor seperti yang banyak terparkir di teras-teras rumah tetangga.
Kemudian mimpi buruk yang tidak pernah ingin kubayangkan, justru hadir dengan sangat nyata. Ayah berpulang ke Rahmatullah tepat di saat seluruh dunia tengah merayakan suka cita Idul Fitri, 2004 silam. Sudah hampir 9 tahun berlalu tapi rasanya seperti baru kemarin. Seperti baru saja aku dan ayah bertengkar tentang ke SMP mana aku akan melanjutkan sekolah setelah UAN berakhir, dan tahu-tahu ayah sudah meninggalkan kami. Tiba-tiba saja aku, Bunda, dan adik-adik harus kembali tinggal di rumah kakek dan nenek dari pihak Bunda. Bunda hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan, mendadak harus menghidupi kami berempat pastilah sangat berat.
Usiaku baru tiga belas dan tidak ada yang bisa kulakukan selain tidak membiarkan diriku terlalu larut dalam kesedihan dan airmata. Sudah cukup melihat bahu Bunda yang kadang masih gemetar menyembunyikan isak tangis, sedang adik-adikku masih terlalu dini untuk memahami mengapa ayah harus tidur sendirian di pemakaman alih-alih kembali pulang bersama ke rumah kecil kami.Maka tidak seorang pun boleh melihat air mata ini, kecuali Tuhan. Aku hanya harus tersenyum dan memeluk mereka, berkata bahwa semua akan baik-baik saja selama kita percaya pada Allah SWT.
Kuharap aku bisa bertemu dengan Lia kecil dan mengajaknya bermain bersama. Mendengarkan keluh kesahnya yang tidak pernah terucap. Menyeka airmatanya yang hanya disaksikan oleh bisunya dinding kamar. Aku tahu ia telah banyak terluka dan menderita. Dengan kekuatannya yang terbatas Lia kecil sudah berusaha, ia selalu berusaha. Bukan untuk dirinya, tapi untuk Bunda dan adik-adiknya. Untuk merekalah Lia kecil menyembunyikan segala kelemahannya. Agar orang lain hanya akan melihat versi dirinya yang kuat. Agar mereka percaya ia yang sekecil itupun bisa melindungi apa yang dianggapnya berharga, jadi mereka tidak akan menginjak-injaknya.
Aku ingat pernah berjanji. Di depan pusara ayah saat beliau dikebumikan. Tidak ada airmata di sana. Tapi hatiku bertekad, aku akan melindungi keluarga kecil kami apapun yang terjadi, menggantikan ayah. Ayah mungkin tengah mencemaskan kami dan aku tidak menginginkan itu. Aku adalah anak gadis ayah yang kuat. Yang selalu bisa menjaga amanat dan tidak mengecewakan ayah. Aku ingin ayah melihat dari tempatnya surga, bahwa keluarga kecil yang selalu diperjuangkannya, masih terus kuperjuangkan. Aku akan meneruskan cita-cita ayah. Kami akan bahagia bersama-sama demi bagian ayah juga.
Untuk Lia kecil, terima kasih sudah berjuang dan bertahan sampai akhir. Kau memang sangat kuat, walaupun pasti banyak kesepian. Tanpamu mungkin tidak akan ada diriku yang sekarang. Tanpamu aku pasti akan jadi pribadi egois yang selalu menyalahkan nasib dan Tuhan. Kini aku yang akan meneruskan mimpimu. Aku tidak akan lupa kau pernah ada. Kau adalah bagian penting dari diriku. Aku mencintaimu. Terima kasih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*