Yang terkasih,
Nada
di
Lubuk hatiku
Dear, Nada…
Selamat senja!
Aku tak kuasa
berhenti tersenyum membayangkanmu tengah membuka surat ini, ditemani oleh rasa
penasaran yang terus merayumu untuk segera membacanya hingga akhir. Surat ini
kutulis saat matahari jingga sudah tinggal tiga perempat bagian. Cahaya merah
keemasan yang seolah membakar langit barat demikian benderangnya, membuatku
sempat yakin jika tidak segera beranjak, tidak lama lagi pasti lidah-lidah api
matahari akan sampai di beranda lalu membakar habis suratku. Tidak, tidak boleh
terjadi sesuatu yang buruk pada surat ini. Tidak selama kamu belum membacanya
sampai habis.
Nada, ketika surat
ini tiba di hadapanmu dan terbaca olehmu, aku senantiasa berharap kamu
baik-baik saja. Sebagaimana aku yang selalu baik meski semalaman kemarin hingga
dini hari tadi masih gelisah memikirkan apa yang sebaiknya kutuliskan untukmu
dalam surat ini. Menurutmu seharusnya surat ini berisi apa? Apa kuisi saja ia
dengan perasaanku? Perasaanku yang kini dilanda prahara akibat sudah terlalu
lama kita berdua tidak bisa melewatkan waktu bersama.
Iya, kamu benar,
Nada. Kamu tahu persis bahwa kamu selalu benar tentang apapun, termasuk
perasaanku padamu. Maka melalui surat ini aku ingin sekali memberitahukanmu perasaanku.
Tentang sebanyak apa aku memikirkan dirimu sepanjang hari, dimulai sejak aku
membuka mata hingga tubuh ini tak mampu lagi terjaga. Tentang bagaimana gelisah
hadir setiap kali kububuhkan tanda silang pada tanggal-tanggal dalam kalender
saat waktu berjalan demikian lambat menuju hari di mana kita bisa bertemu.
Tentangku yang tidak bisa tidak otomatis teringat padamu setiap kali mendengar
lagu-lagu kita akrab menyapa
telingaku, entah itu dari radio, dari acara musik di televisi, mengalun di
speaker café saat aku ngopi bersama teman-teman, diputarkan oleh rekan kerja di
kantor sengaja untuk menggodaku yang segera melamunkanmu, di mana saja.
Ingatkah kamu?
Pernah kamu menemaniku bernyanyi saat hari hujan dulu. Aku yang sebelumnya
selalu iseng asal bersenandung tiba-tiba saja jatuh hati padamu, yang sempurna
sekali mengiringi nyanyian kacauku dengan permainan gitar akustikmu. Kemudian
sekejap saja kamu dan aku, kita semakin terbiasa membagi segalanya berdua. Bisakah menghitung,
berapa banyak lagu yang sudah kita nyanyikan bersama di senja itu, kala
menunggu pelangi tiba?
Saat itu kita masih
begitu muda. Kita hanya tahu cita, asa, dan bahagia. Tak peduli apapun lagi selama
kita masih bisa bernyanyi. Enyah saja lainnya, hingga waktu membawa jarak dan kenyataan yang tak pernah terlintas di
benakku sebelumnya. Kamu harus berada jauh dariku sementara waktu. Bahwa aku
tidak lagi bisa melihatmu setiap hari. Tidak bisa memintamu datang sekiranya aku
tak tahan ingin bertemu. Kamu tahu aku tidak pernah menginginkan apapun. Cukup
kamu ada bersamaku. Itu saja. Cukup dengan kamu di sini dan menyanyikanku
lagu-lagu favorit kita. Aku tidak akan meminta apapun lagi. Tuhan sudah
memberiku yang terbaik, yakni dirimu.
Padamu Nada, aku
benar-benar merasa... Ahh, bagaimana orang biasa menyebut perasaanku ini? Hasrat
ingin membenamkan tubuh tak berdayaku dalam peluk hangatmu tanpa ada usai. Hanya
aku dan kamu, lalu segera bahagia akan mengekori kita dengan sendirinya, tanpa
ada jeda, tanpa ada jika.
Nada, kekasihku... Apakah
kamu merasakan perasaan yang sama dengan yang sedang kurasakan sekarang? Sungguhkah?
Aku tahu kamu pun tak sabar ingin bertemu denganku. Tapi, jangan. Tolong jangan
sebut perasaan indah itu dalam kata. Biar kita merasakannya dalam hati saja.
Biar kita meresapinya sambil menanti perjumpaan kita selanjutnya. Karena tidak
semua kata bisa menjelaskan tepat seperti apa yang hati kita rasakan. Ya kan,
Nada?
Baiklah, akan
segera kusudahi surat ini. Tampaknya kamu pun sudah mulai bosan membacanya.
Hahaha... Tentu saja, ini tidak seperti komik Naruto kegemaranmu. Tapi, kamu
belum mengantuk, kan? Tenang saja, sedikit lagi. Hanya tinggal beberapa kata
lagi dan aku akan melipat surat ini lalu memasukkannya dalam amplop bersamaan
dengan raja siang yang hendak berpulang dipeluk petang. Menyisakan semburat
jingga di langit yang mulai beralih lembayung. Syukurlah, jika kamu tuntas
membaca surat ini di sini, artinya matahari tidak jadi membakar suratku dengan
lidah-lidah apinya. Ia rupanya iba padaku yang sangat ingin menghadiahimu surat
ini sebagai tanda kasihku untukmu. Terima kasih sudah menjadi segalaku, Nada.
Sampai jumpa
segera!
PS : Jariku sedikit
terfoto. Tapi bagus, tidak? Baiklah, aku tahu lukisan senjamu jauh lebih bagus.
Beranda, 13 Februari 2014
Sincerely
The one who wants
you the most,
R. Ch. Auliya Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*