Tahun ini pun, terima kasih sudah datang. Meski bukan dirimu yang sebenarnya ingin kutemui, aku tidak pernah menyesal. Tiga puluh hari yang kita lalui, sudah memberiku lebih dari cukup. Well, bohong jika kubilang setiap hari merasa senang. Tapi sungguh, banyak hal berharga –sekalipun berasal dari luka– yang kuterima dari hampir sebulan kebersamaan kita.
Ingatkah saat kita akhirnya bertemu kembali? Ya, seseorang yang waktu itu bersamaku adalah kekasihku. Ikut menunggu demi terus menemaniku yang sudah tidak sabar untuk segera mengenalkannya padamu. Kala itu kukatakan padanya, bahwa kehadiranmu akan sangat penting dan berpengaruh pada hari-hari kami selanjutnya. Atas keputusan-keputusan yang kiranya akan kami ambil tatkala kau sudah akan pergi lagi dan kami akan bertemu penerusmu sebagai gantinya.
Tak kutemukan ia ragu pada kepercayaanku padamu. Kusadari ada haru menyusup dalam hati begitu tangan kalian saling menjabat lalu bertukar sapa. Ia sama senangnya denganku, yang diam-diam menaruh harap dan membisik doa, "semoga Januari akan bisa mengantarkan kami pada kebahagiaan yang kami cari."
Dan itulah kenapa aku ingin meminta maaf. Maaf karena sudah seenaknya menggantungkan harapan-harapan besar kami padamu, tanpa peduli hal itu mungkin memberatkan. Harusnya aku tahu, kami bukan satu-satunya pasangan di dunia ini yang menginginkan kebaikan darimu. Jadi apabila kami masih belum menemukan kebahagiaan yang kami sangka berada dekat denganmu, adalah tanggung jawab sekaligus kewajiban kami untuk tidak merasa kecewa, pun menolak menyalahkanmu.
Jika bukan karena kau yang terus menyemangati kami –hingga tiga puluh hari kami berlalu bagai mimpi– bisakah kau bayangkan semenyedihkan apa kami yang mengira telah kehilangan harapan?
Jika bukan karena kau yang terus menyemangati kami –hingga tiga puluh hari kami berlalu bagai mimpi– bisakah kau bayangkan semenyedihkan apa kami yang mengira telah kehilangan harapan?
Kau pasti akan pergi dalam beberapa jam lagi. Maka bersamaan dengan surat ini, biarlah kukubur sedihku di penghujungmu. Agar kelak tidak ada penyesalan dalam kegagalan. Agar tidak pernah muncul sebersit prasangka dalam buket tawa bahagia –yang barangkali belum kudapat darimu– yang mampu disuguhkan oleh bulan-bulan lain setelahmu.
Bila kita memang diizinkan bersua kembali tahun depan, kuharap itu adalah giliranku membawakanmu setangkai senyuman.
Di bawah naungan hujan, akhir Januari 2015,
Liya –anak Maret
Surat Ke-2 #30HariMenulisSuratCinta
Surat Ke-2 #30HariMenulisSuratCinta
Keren kak tulisannya, semangat :)
BalasHapus