“Aku
sudah benar-benar nggak bisa, Kak...” Sari menemukan suaranya bergetar hebat.
Tangannya menggenggam ponsel kuat-kuat seolah benda mungil itu adalah tumpuan
satu-satunya, dan akan limbung dirinya jika genggaman itu dilepaskan.
Dengan
bibir yang tampak sudah tidak berdaya untuk digerakkan ia berucap lagi, “Aku sudah
nyaris gila. Aku nggak akan bisa bertahan dengannya lagi. Aku nggak sanggup,
Kak. Kakak harus menolongku...” Sangat lirih, tapi Sari yakin segenap energinya
sudah habis untuk itu.
“Andai
aku bisa menolongmu, Sayang...” Suara rendah di seberang telepon itu menyahut.
Sama lirih dan sarat pilu dengan milik Sari yang didengarnya sejak tadi.
Dihelanya napas panjang. Ia tahu hal seperti ini akan segera terjadi. Tapi
secepat ini, adalah yang ia harap tidak pernah mau tahu.
“Bawa
aku, Kak. Bawa aku pergi bersamamu, atau aku bisa mati di sini...”
Suara
gadis itu kian melemah. Timbul tenggelam diantara isak tangis dan pengaturan
nafas yang tak sempurna. Cahya tahu kekasihnya itu benar-benar menderita saat
ini. Dan ia sangat membenci dirinya yang bahkan tidak mampu berbuat apa-apa
untuk Sari.
“Sayang
nggak boleh ngomong gitu.” Ucapnya pada akhirnya. “Badai ini akan segera
berlalu dan kamu menghadapinya bersamaku.” Berharap kalimatnya dapat sedikit
menenangkan gadis itu, dan juga hatinya yang tak henti bergemuruh. Ingin sekali
Cahya mendatangi Sari untuk memeluknya. Memberitahu gadis itu bahwa Cahya
bersamanya. Tapi ia tidak bisa. Semuanya tidak sesederhana itu. Tidak
sesederhana impiannya dan Sari untuk bisa bersatu.
Sari
kembali terisak. Bersusah payah menyusun kata. “Me-mereka semua jahat padaku.
Mereka yang sangat kusayangi tega melakukan hal ini padaku.” Dan tangisnya
kembali pecah.
Cahya
sudah akan mengucapkan sesuatu. Bibirnya sudah terbuka namun diurungkan
niatnya. Ia mendesah lagi. “Aku tahu Sayang kuat. Sayang pasti bisa melewati
malam ini. Dan berjanjilah akan tetap bertahan hidup untuk bersamaku nanti.”
“Sayang
masih nggak mau makan?” Pertanyaan Cahya menguap. Hanya isak tangis Sari yang
bisa ia dengar, lain tidak. Terakhir kali diingatnya Sari sempat mengabarinya
sudah makan siang tadi. Setelah itu Cahya yakin tidak ada apapun yang masuk
dalam tubuh lemah gadis itu hingga kini. Kecemasan kembali menyusup dalam
celah-celah hatinya. “Aku sama tersiksanya sepertimu, Sayang.”
Dihelanya
nafas panjang. Berat sekali. “Yakin mau pergi bersamaku? Kita lihat bagaimana
perkembangannya dulu. Kalau memang tidak ada pilihan untuk kita, aku akan
membawamu pergi.” Janji Cahya. “Makan atau minumlah sesuatu, lalu tidur. Ini
sudah hampir subuh. Dan Sayang sudah menangis sejak jam sembilan malam tadi.”
“I-iya,
Kak...” Sari bersuara akhirnya. “Tapi aku tetap belum bisa tenang.”
“Kamu
percaya aku, kan?” Cahya yakin Sari mengangguk pelan di seberang sana.
“Berdoalah, semua akan baik-baik saja. I love you, Sayang...”
“Love you too, Kak Cahya...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*