Senin, 23 Desember 2013

KAU, AKU, DAN KITA (#MyLoveMyLife)

Pernah aku melihat senyummu dalam remang malam. Pada batas nyata dan khayalan. Kau membagi tawamu, dan memerangkapku di sana. Dalam hangat yang jiwamu ciptakan pada detik harapan baruku terlahir.
Dan aku jatuh cinta padamu begitu saja. Bukan pada kali pertama kita bersama-sama menikmati senja. Tapi jauh sebelum itu. Hatiku sudah tertambat padamu sejak lama. Sejak takdir mengeratkan genggaman tanganmu pada tepian gelisahku. Jika tak kau temukan, mungkin serpihan diri ini akan hilang. Hanyut entah ke mana terbawa arus kehidupan.
Maka mungkin ini jawaban dari berjuta doa yang kumohonkan. Dari luasnya samudera mimpi yang ingin kuwujudkan. Kau, dirimu, adalah yang sangat kuinginkan untuk diriku sendiri. Kau yang paling kucintai, paling ajaib yang pernah Tuhan anugerahkan. Tidak bisa digantikan orang lain. Mustahil jika bukan dirimu. Bahagiamu adalah bahagiaku. Keberadaanmu adalah hidupku. Aku tidak bisa meminta apapun lagi selain kerelaanmu agar juga menginginkan aku.
***
Aku mengenal genggaman tangan itu. Mengingat betul setiap lekuk jemari. Merekam jelas hangatnya yang tercipta dalam sudut kecil hatiku. Ku kenali bayangan itu. Bayanganmu yang selalu kurindukan. Keberadaan yang menerbitkan haru biru. Satu-satunya di dunia yang membuatku melayang.
Aku jatuh cinta pada tawa lepas dari sudut bibirmu. Aku jatuh cinta pada kelakar-kelakar. Pada detingan gitar, pada besarnya perlindungan yang kau berikan. Tanpa syarat, tanpa terikat. Aku mencintaimu begitu saja. Begitu membuka mata dan dirimulah segalanya. Aku merindukanmu tak peduli waktu. Persetan dengan orang lain yang meragu. Yang ku tahu aku menginginkanmu jadi milikku.
***
Tiada yang lebih menyakitkan daripada melihatmu sakit. Tak ada yang lebih mengiris hatiku selain menjumpai tangismu. Airmata dan dukamu yang bukan untukku. Pandanganmu yang seolah tak pernah lepas darinya. Dia yang mengabaikanmu. Dia yang seharusnya tak lagi berhak mendapatkan cintamu.
Kenapa bukan aku? Kenapa bukan aku yang mampu menyembuhkan luka hatimu? Kenapa bukan aku yang bisa membahagiakanmu? Kenapa itu bukan aku, aku yang rela menyerahkan segalaku buatmu? Tidak adakah yang bisa kulakukan untuk sekedar membunuh jarak pada hati kita, dan kembali lagi seperti dulu?
***
Diam menghampiri. Nyaris tanpa bosan mengajakku menari. Tapi bayanganku bahkan tak beranjak. Hampir lelah kuperbaiki jalan hatiku yang mulai retak. Sedang langkah ini searah ke mana angin membawamu pergi. Tak peduli seperti apa, bersamamu aku seperti mendapatkan kembali semua inderaku.
Aku buta dan kau memperlihatkanku cinta. Aku tuli dan kau tak pernah jemu bernyanyi. Aku bisu, tapi sejatinya kau mengerti isi hatiku. Lumpuh pun, mati rasapun aku masih bisa menyentuh bayanganmu. Mimpimu. Cintamu (yang dulu) untukku.

Demi setiap kecup, rengkuh, dan cinta kasih, detikku berirama detak jantungmu. Seberapa jauh egoismu pergi aku akan menunggu. Mendoakanmu kembali padaku. Sekali lagi. Lalu selamanya kita (akan) bisa bahagia bersama. 

MENJADI SEORANG AKU (#MyDream)

Sering aku berpikir, sama sekali tidak ada bagusnya menjadi seorang ‘aku’. Sungguh, tidak ada bagusnya menjadi aku. Berusaha menjadi orang lain itu benar-benar melelahkan. Terasa konyol dan menyedihkan. Dan aku sudah terlalu mahir untuk itu, hingga tidak tahu lagi diriku yang sebenarnya seperti apa.

Aku tumbuh dengan mendoktrin diriku sendiri: lakukan sesuai perintah tanpa membantah, dengan begitu orang dewasa akan puas dan tidak lagi mengusikmu. Sekalipun itu aneh, sulit, dan tidak sesuai dengan logikamu. Biar saja. Karena bagi ‘orang dewasa’ ketika kau melakukan tepat seperti yang mereka inginkan, maka kau ‘hebat’, ‘pintar’. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya kau mungkin akan mendapat hujatan. Dinilai tidak menurut atau pembangkang.

Dan aku sudah kenyang disebut begitu. Mulanya masih kupertanyakan tentang apa-apa yang sebaiknya kulakukan dan apa yang para orang dewasa ingin aku hindari. Tapi lama-kelamaan aku muak. Persetan dengan keinginanku yang selalu jadi debu. Kata-kata seorang anak ingusan sama sekali tidak berarti.
Jadilah kusegel rapi suara hatiku. Hanya kubuka jika aku sudah terlalu rindu. Selebihnya kuciptakan pribadi ideal yang bisa meluluskan segala tuntutan orang dewasa padaku. Yang mereka tahu aku selalu tersenyum. Bertutur kata dengan baik, berperilaku sopan, seorang penurut. Atau itu jin penjaga lampu ajaib pengabul segala? Dan mereka tidak akan peduli aku ingin apa, pendapatku bagaimana. Munafik? Iya, setidaknya di pikiran mereka aku memuaskan. Hahaha.

Dan ingatanku ada di dua persimpangan: sebelum dan sesudah ayah tiada. Fase sebelum kepergian ayah berisi kenangan-kenangan serba bahagia. Bahwa aku adalah cucu perempuan yang dinanti dan dijanjikan limpahan cinta dari kedua pihak keluarga besar Ayah dan Bunda. Lia kecil yang cepat pintar dan Ayah-Bunda yang begitu bangga akan prestasiku dari anak-anak lain sepantaran. Lalu adik-adikku lahir dan Ayah akhirnya mampu menghadiahi Bunda sebuah rumah kecil untuk keluarga kecil kami. Berlima, kami sungguh berbahagia lebih dari keluarga-keluarga lain walau yang kami punya hanya dua buah sepeda tua, bukan kendaraan motor seperti yang banyak terparkir di teras-teras rumah tetangga.

Kemudian mimpi buruk yang tidak pernah ingin kubayangkan, justru hadir dengan sangat nyata. Ayah berpulang ke Rahmatullah tepat di saat seluruh dunia tengah merayakan suka cita Idul Fitri, 2004 silam. Sudah hampir 9 tahun berlalu tapi rasanya seperti baru kemarin. Seperti baru saja aku dan ayah bertengkar tentang ke SMP mana aku akan melanjutkan sekolah setelah UAN berakhir, dan tahu-tahu ayah sudah meninggalkan kami. Tiba-tiba saja aku, Bunda, dan adik-adik harus kembali tinggal di rumah kakek dan nenek dari pihak Bunda. Bunda hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan, mendadak harus menghidupi kami berempat pastilah sangat berat.

Usiaku baru tiga belas dan tidak ada yang bisa kulakukan selain tidak membiarkan diriku terlalu larut dalam kesedihan dan airmata. Sudah cukup melihat bahu Bunda yang kadang masih gemetar menyembunyikan isak tangis, sedang adik-adikku masih terlalu dini untuk memahami mengapa ayah harus tidur sendirian di pemakaman alih-alih kembali pulang bersama ke rumah kecil kami.Maka tidak seorang pun boleh melihat air mata ini, kecuali Tuhan. Aku hanya harus tersenyum dan memeluk mereka, berkata bahwa semua akan baik-baik saja selama kita percaya pada Allah SWT.

Kuharap aku bisa bertemu dengan Lia kecil dan mengajaknya bermain bersama. Mendengarkan keluh kesahnya yang tidak pernah terucap. Menyeka airmatanya yang hanya disaksikan oleh bisunya dinding kamar. Aku tahu ia telah banyak terluka dan menderita. Dengan kekuatannya yang terbatas Lia kecil sudah berusaha, ia selalu berusaha. Bukan untuk dirinya, tapi untuk Bunda dan adik-adiknya. Untuk merekalah Lia kecil menyembunyikan segala kelemahannya. Agar orang lain hanya akan melihat versi dirinya yang kuat. Agar mereka percaya ia yang sekecil itupun bisa melindungi apa yang dianggapnya berharga, jadi mereka tidak akan menginjak-injaknya.

Aku ingat pernah berjanji. Di depan pusara ayah saat beliau dikebumikan. Tidak ada airmata di sana. Tapi hatiku bertekad, aku akan melindungi keluarga kecil kami apapun yang terjadi, menggantikan ayah. Ayah mungkin tengah mencemaskan kami dan aku tidak menginginkan itu. Aku adalah anak gadis ayah yang kuat. Yang selalu bisa menjaga amanat dan tidak mengecewakan ayah. Aku ingin ayah melihat dari tempatnya surga, bahwa keluarga kecil yang selalu diperjuangkannya, masih terus kuperjuangkan. Aku akan meneruskan cita-cita ayah. Kami akan bahagia bersama-sama demi bagian ayah juga.

Untuk Lia kecil, terima kasih sudah berjuang dan bertahan sampai akhir. Kau memang sangat kuat, walaupun pasti banyak kesepian. Tanpamu mungkin tidak akan ada diriku yang sekarang. Tanpamu aku pasti akan jadi pribadi egois yang selalu menyalahkan nasib dan Tuhan. Kini aku yang akan meneruskan mimpimu. Aku tidak akan lupa kau pernah ada. Kau adalah bagian penting dari diriku. Aku mencintaimu. Terima kasih...

MALAIKAT NOMOR SATU (#MyMomMyAngel)

Adalah sesosok malaikat berwujud seorang wanita, yang keberadaannya sama pentingnya dengan dunia ini bagiku. Yang tanpanya entah nanti aku akan bagaimana. Untukku yang selalu merasa sendiri di bumi ini, ibuku lebih dari sekedar sosok penyeimbang maupun hiasan. Ia adalah hidup dan matiku.
Faizah Laila, nama malaikat yang dikirim Tuhan sebagai ibuku. Ia menghadirkanku ke dunia dua puluh tahun silam dengan menggadaikan hidupnya. Entah sudah berapa banyak cinta yang kuterima darinya. Ibuku yang adalah seorang ibu rumah tangga biasa telah dengan sempurna mengajarkanku segalanya. Ia benar-benar memperhatikan tumbuh kembangku dengan baik. Beruntungnya aku menjadi si sulung. Sempat merasakan menjadi anak tunggal berlimpah kasih sayang yang memonopoli cinta kedua orang tua, terutama ibu.

Memang sejak ibu mulai fokus pada adik-adikku, aku menjadi ‘anak perempuan ayah’. Semenjak berstatus ‘kakak’ aku jadi lebih dekat dengan ayah. Tapi justru karena itulah ketika ayah telah tiada aku benar-benar bergantung pada sosok ‘ibu’ dari ibuku. Aku merasa kehilangan dunia dan segalanya, lalu kusadari hanya ibuku lah yang tersisa. Ingat bahwa ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa? Serta merta menyandang status janda tiga anak tanpa penghasilan bukanlah sesuatu yang sekalipun pernah terlintas di pikiran. Aku tahu sejak kiamat kecil itu hidup tidak akan pernah sama, tidak akan semudah itu lagi baginya.

Tidak pernah sekalipun ada keluhan yang terucap dari bibir malaikat tercantikku itu. Tapi aku tahu, ibu selalu menyimpan pedih hati untuk dirinya sendiri. Seorang diri berusaha membesarkan tiga orang anak yang luar biasa nakal dan menyusahkan seperti kami, aku dan dua orang adikku.
Ada kalanya ia mulai menyalahkan diri sendiri. Menganggap telah lalai memperhatikan pertumbuhan kami sebagai konsekuensi karena ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Ya, ibu harus berperan ganda mengurus rumah tangga dan mencari nafkah. Sedangkan aku belum bisa melakukan apapun untuknya. Maka aku bertekad selesai SMA aku juga akan bekerja. Aku ingin bisa berguna, ingin meringankan sedikit bebannya, aku ingin membuatnya bangga.

Andai ibu tahu betapa berharganya ibu untukku. Alarm bangun alami, sarapan pagi, sms dan telepon yang menanyakan keberadaanku adalah bentuk kecil cinta ibu. Ibu menyadari bahwa pekerjaannya, kesibukanku, dan kegiatan sekolah adik-adik sedikit banyak telah meciptakan jarak di antara kami dan betapa inginnya ibu menghapus rentangan itu. Ibu selalu ingin dinomorsatukan oleh kami, tanpa menyadari bahwa dirinya sudah menjadi nomor satu sejak dulu.

Ibu, seperti kata-kata seorang bijak, “Bukan ‘aku mencintaimu karena membutuhkanmu’, melainkan ‘karena aku (sangat) mencintai dan menyayangimu maka aku (begitu) membutuhkanmu dalam hidupku.’”

Tidak ada yang lebih kuinginkan daripada keberadaanmu di sisiku. Tak peduli berapa lama waktu berlalu, meski ini sangatlah egois, tapi mohon menungguku, Bu. Tunggulah sebentar lagi sampai aku bisa membalas cintamu walau tak mungkin menyamainya. Biarkan aku memberimu sedikit bahagia meski cuma sederhana. Perhatikan aku tumbuh dewasa untuk membuatmu bangga, berusaha mewujudkan harapan terbaikmu untukku dalam doa-doa.

Lia sayang Ibu. Sangat. Selalu. :’) :*