Senin, 31 Maret 2014

SURAT UNTUK MANTAN

Teruntukmu: pelangi terindah setelah hujan, secangkir kopi panas temanku menghitung embun, kupu-kupu hitam cantik yang masih beterbangan mengelilingi sudut kecil hatiku.

Hai, kamu yang namanya pernah selalu kusebut dalam setiap tetes doaku. Boleh kutahu bagaimana kabarmu di kejauhan sana? Aku sendiri masih hidup, selalu ingin tetap berbahagia menikmati hidup, dengan atau tanpamu. Barangkali itu yang akan kukatakan sebagai jawaban kalau-kalau kamu pun menanyakan keberadaanku. Tapi mungkinkah? Akankah mungkin kamu bahkan mengingatku setelah hampir setahun perpisahan kita?

Kamu yang pelukannya masih bisa dirasakan oleh masing-masing bulu halus kulitku, ingatkah kamu pada pertemuan kembali kita setahun lalu? Kamu menemuiku lagi sekembalimu dari perantauan bertahun-tahun terhitung sejak upacara kelulusan SMA kita. Tahukah kamu segembira apa aku kala itu? Sebahagia apa aku akhirnya bisa melihatmu lagi?

Kita berdua tahu betul kamu adalah cinta pertamaku. Cinta lama yang kusembunyikan diam-diam tanpa mampu kunyatakan demi tidak menjauhkanmu dari pandanganku. Cinta sepihak yang kunikmati seorang diri demi tidak mengacaukan hubunganmu dengan gadismu tujuh tahun lalu.
"Aku bahagia selama kamu bahagia sekalipun ia yang ada bersamamu, sekalipun kamu bukan milikku."
Sungguh naif, aku terus berpikir seperti itu sambil menjalani hidupku tanpamu, untuk kali pertama. Tapi kemudian Tuhan mempertemukan kita kembali. Di awal tahun lalu akhirnya kamu bersedia menjadikanku wanitamu. Aku pernah berharap ada baiknya hidupku terhenti di waktu itu saja. Pada saat aku masih merasakan hangat genggaman tangan kokohmu pada jemariku. Ketika aku bisa mengukir senyumanmu sedekat bahu kita yang melekat, bukan lagi sekadar emotikon warna kuning pada layar telepon genggam.

Namun kebahagiaan yang kusangka akan kekal bersamamu rupanya hanya nyata dalam hitungan dua bulan saja. Dua bulan untuk tujuh tahun penantian. Kamu pergi meninggalkanku lagi, membiarkanku menatap punggung sepimu yang kian menjauh. Tidak bisa menjanjikanku bahagia, kamu bilang? Ingin aku mendapatkan lelaki yang bisa lebih membahagiakanku daripada dirimu? Tidakkah kamu tahu mantan kekasihmu satu ini bodohnya seperti apa?

Adalah aku. Gadis bodoh yang (dulu) percaya hidup-matinya bergantung padamu. Seorang idiot yang mengorbankan waktu tujuh tahunnya mencintai sesosok lelaki yang belum tentu bisa mencintai dirinya, yang rela melakukan segalanya demi menciptakan kebahagiaanmu di sisiku. Si keras kepala yang tak mampu memalingkan hati barang sedetikpun pada selain dirimu. Yang pagi-siang-sore-malam, baik nyata atau maya hanya bernafas dengan melafalkan namamu saja. Mendoakan yang terbaik bagi dirimu dan hatimu.

Jangan khawatir aku akan sakit hati dikatai bodoh olehmu. Aku memang sebodoh sangkamu, bahkan mungkin lebih bodoh lagi. Sekitarku pun berpendapat demikian. Apalagi yang bisa diharapkan dari seseorang yang keberadaannya saja di mana, tidak kau tahu?” Mereka bertanya sinis.
Biarlah. Terserah orang lain berkata apapun sesukanya. Mereka boleh mencelaku sampai puas. Mereka hanya tidak boleh menjelek-jelekkan dirimu. Aku akan jauh lebih sakit hati jika itu terjadi.
Sekalipun keinginanmu atas perpisahan kita memporak-porandakan perasaanku dan menghancurkan hatiku, namun sungguh tidak adil untuk menimpakan semua sebab-musabab kesalahan sebagai tanggung jawabmu. Kurasa kamu memang sengaja mengambil keputusan itu

Aku tidak mengenalmu sehari-dua hari. Bukan memerhatikanmu dari sudut pandang sesempit dan sesederhana kaca spion. Kamu memang pribadi seperti itu, yang apabila merasa terbebani oleh harapan yang terlalu besar –yang kamu tidak percaya diri bisa memenuhinya– kamu akan lari dan sembunyi. Kamu akan menolak menjelaskan apapun, tapi juga tidak akan membela diri. Pengecut, eh? Tidak, itu adalah caramu untuk menjaga citraku, dengan menjadikan dirimu sendiri penjahatnya. Kamu terlalu baik, Sayang.

Itulah kamu, karakter nyata yang (pernah) amat kucintai. Tanyakan padaku, masihkah aku mencintaimu di detik ini? Mungkin. Karena walau tak bisa memilikimu dalam genggaman tangan, aku masih bebas menghadirkanmu sebatas angan.

Pun aku masih bodoh, namun kemudian memahami. Tuhan tidak memberikan apa yang kuinginkan melainkan apa yang sesungguhnya kubutuhkan. Perkenalanku denganmu, persahabatan kita, sempat kehilanganmu, pertemuan kita kembali, pernah menjadi kekasihmu, lalu melepasmu lagi, yang manapun tidak sedikitpun aku pernah menyesal. Bertemu dan sempat memilikimu adalah bagian terbaik. Hanya saja, aku tak lagi bernyali mengharapkan kamu kembali.
Sayangnya kita berdua belum jodoh saja.
Bolehkah kutambahkan bagian itu dalam doaku seperti dulu?
Tuhan, mohon jodohkanlah aku dengan dia. Jika dia bukan jodohku maka jodohkan aku dengan seseorang yang mirip dirinya, dengan wajah dan postur tubuh serupa, bercara bicara sama sepertinya, yang sifat dan karakternya serupa dengannya. Dengan kata lain, dia saja, Tuhan. Terima kasih, Aamiin...
Sungguhan aku pernah berdoa seperti itu, tahu! Sering sekali dulu. Tidak percaya?

Jika memang belum menemukan seseorang yang bisa mencintaimu sebaik aku, kamu tahu ke mana harus pulang, kan? Nantilah, akan kukisahkan lebih banyak lagi, sebanyak yang kamu inginkan, saat Tuhan mengijinkan kita untuk bertemu (lagi). Bagaimana menurutmu?

Seseorang yang berbangga hati (pernah dan masih) merasa paling mencintaimu (setelah orangtua dan keluargamu) di dunia ini lebih dari siapapun.



NB: Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth Novel by Bernard Batubara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*