Kamis, 02 Juli 2015

Assalamu'alaikum, Bapak...

Ayahanda dari pria kecintaan saya.

Sebelumnya, ijinkan saya berterima kasih atas restu dan doa Bapak. Pertengahan Mei lalu pernikahan saya dengan putra kedua Bapak -Kak Anto- berjalan lancar sesuai rencana tanpa ada kendala. Meski tak dipungkiri kami sangat mengharapkan Bapak bisa hadir dan menyaksikan langsung janji suci kami.

Saya tahu Bapak ingin sekali menghadiri hari bahagia kami, namun apa daya, terbentangnya jarak antar-pulau dan kondisi kesehatan Bapak kala itu sama sekali tidak memungkinkan. Sebagai gantinya kami sudah menerima berkat dan doa-restu dari Bapak yang diwakilkan oleh Kak Rudi. Insya Allah itu sudah cukup, Pak.

His beloved siblings; your children
Yang tak akan pernah bisa saya lupa, malam, beberapa hari pasca kesibukan pernikahan, Kak Anto mengajak saya untuk menyapa Bapak via telepon. Bertukar kabar, sekadar memberitahukan situasi kami terkini. Dia ingin mengenalkan istrinya ini kepada ayahandanya. Dia ingin suatu saat istrinya ini bisa bertemu dengan bapaknya.

Cita-cita Kak Anto menjadi cita-cita saya juga.

Dia banyak bercerita tentang Bapak. Tentang ibu dan adik-adik. Tentang keluarga di Senipah. Saya hanya bisa tersenyum tatkala memperhatikannya bercerita. Kak Anto tampak begitu senang dan bersemangat ketika menceritakan hari-harinya di sana. Tempat-tempat menarik dan budaya setempat yang belum pernah saya tahu. Namun saya seperti bisa membayangkan. Saya seperti sudah dekat dengan keluarga Bapak sekalian.
Ahh... Mungkin dia rindu Bapak. Barangkali dia ingin pulang ke tanah Kalimantannya. Bisa jadi sayalah alasannya untuk pergi, dan kini dia ingin kembali.

Kak Anto menyuruh saya menyapa Bapak, membicarakan satu-dua hal untuk kali pertama. Apa yang harus saya katakan? Ada rasa malu dan canggung. Sudah lama saya tidak membicarakan hal-hal pribadi dengan orangtua laki-laki. Orangtua suami secara otomatis akan menjadi orangtua istri juga, kan? Maka beruntunglah saya, karena sekali lagi diijinkan memiliki sesosok orangtua laki-laki. Saya senang karena berpikir akhirnya saya bisa punya seorang bapak.

Apakah pemikiran saya tersebut terlalu lancang, Pak?

Saya kehilangan ayah saya hampir sebelas tahun lalu, saat saya berusia tigabelas dan duduk di bangku kelas 2 SMP. Bisa dibilang masa kanak-kanak saya harus terhenti di situ. Saya harus bisa fight sebagaimana ibu saya yang berjuang sendirian sebagai single-parent.

Saya berusaha mandiri, tapi bohong jika saya bilang tak pernah merindukan ayah. Saya amat sangat rindu beliau, tapi cukup hati saya dan Tuhan (dan sekarang ditambah Bapak) saja yang tahu, nanti ibu dan adik-adik saya ikut teringat dan jadi sedih. Saya tidak ingin itu. :')

Saat diperdengarkan suara Bapak oleh Kak Anto via sambungan telepon malam itu, saya benar-benar dibuat kagum sekaligus heran, saya merasa tidak asing dengan suara Bapak.

Ahh... Itu...

Pernah Kak Anto memperlihatkan foto Bapak pada saya, waktu itu mungkin saya sembari mengira-ngira -Bapak yang tersenyum hangat dan ramah dalam foto- bagaimana cara Bapak berbicara? Bapak kan tahu bahwa Kak Anto memiliki aksen bicara yang khas, belakangan saya dapati cara bicara Kak Rudi juga tidak jauh berbeda. Mungkinkah Bapak memiliki nada suara dan cara bicara seperti yang saya pikirkan?

Ternyata sama.

Suara Bapak sama persis dengan yang pernah saya bayangkan. :D Saya benar-benar senang bisa berkesempatan mengobrol dengan Bapak. Meski sebagian besar saya hanya mendengarkan nasehat Bapak demi hubungan rumah tangga saya dengan Kak Anto. Terima kasih, Pak. Saya akan selalu mengingat dan berusaha melakukan apa yang Bapak sarankan. :')

Oh iya, Pak. Foto-foto pernikahan kami sudah selesai cetak. Kak Anto berniat mengirimkan sebuah album foto -yang ada kami sebagai pasangan mempelai bersama keluarga besar- pada Bapak. Dia bilang akan segera memaketkannya ke Senipah...

Tapi Pak, belum sempat suami saya pergi ke kantorpos guna memaketkan album foto pernikahan kami untuk Bapak -seperti tak sabar- sore tadi dia sudah terbang dari Bandara Juanda menuju Bandara Sepinggan, Kalimatan. Kak Anto terbang pulang menemui Bapak.

Kak Anto bergegas pulang ke Senipah begitu mendapat kabar kesehatan Bapak makin memburuk. Anak mana yang kuasa hatinya mengetahui kemungkinan terburuk; tidak akan bisa bertemu dengan orangtuanya lagi?

Kak Anto sangat menyangi Bapak. Dia sangat mencintai bapaknya.

Kenapa Bapak tidak bisa menunggunya sebentar saja? Sebentar lagi saja...

Dia belum sempat menyampaikan perasaannya pada Bapak. Dia belum sempat memberi dan memperlihatkan pada Bapak album foto pernikahan kami. Dia belum sempat memamerkan betapa tampan dirinya saat mengenakan busana pengantin...

Dia belum sempat berkata, "Pak, ini Riza, istriku. Bagaimana menurut Bapak?"

Terlambat satu jam. Terlewat satu jam dan tak seorang pun dari dia atau saya bisa bertemu muka dengan Bapak untuk selama-lamanya.

Barangkali Tuhan mencukupkan rasa sakit Bapak di hari ini. Agar Bapak tidak perlu banyak menderita lagi. Semoga kesakitan terakhir Bapak hanya ada di sini, semua tertinggal di sini, dan Bapak cukup berbahagia saja di surga. :')
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu...
Marhaban yaa ramadhan... Insya Allah segala amalan badah Bapak diterima oleh-Nya. Aamiiin ya robbal 'alamin...

Wassalamu'alaikum, Bapak...
Semoga suatu saat Tuhan berkenan mempertemukan kita ya, Pak. *^_^*



Kota kecil Mojokerto, 1 Juli 2015
Menantu Bapak nomor dua


Panggil saja Riza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*