Minggu, 02 Agustus 2020

4 Tahun Menjadi Ibu ASI (Bagian 1)

Dalam minggu ini Si Bungsu genap berusia 2 tahun, dan segera lulus ASI, insyaallah. Jika berkaca pada sang kakak yang lulus ASI pada usia 25 bulan, mungkin si adik akan mendapat toleransi yang serupa. Ya paling tidak sampai penghujung tahun ini.

Terhitung, sudah 4 tahun lebih aku menjadi seorang ibu ASI, tepatnya sejak Juni 2016 ketika sang kakak, putra pertamaku lahir. Waktu itu masih teringat jelas keinginan terbesarku untuk melahirkan secara normal dan bisa melakukan Inisiasi Dini sebaik mungkin.

Atas izin Allah, aku dimampukan untuk mengantarkan kakak Ari lahir ke dunia secara normal. Namun sayangnya, karena kesalahan teknis saat mengenjan yang begitu menguras tenaga--hingga berakhir aku super lemas dan terpaksa diinfus, aku tidak bisa melakukan Inisiasi Dini dengan baik dan optimal. ASI-ku tidak langsung keluar. Aku kesulitan menyusui bayiku pada beberapa jam pertama. Bersyukur setelahnya kolostrum perlahan-lahan keluar, tapi jumlahnya masih sangat sedikit. :'(

Salah satu hal yang aku sesalkan, saat itu aku seolah tidak punya kuasa atas bayiku sendiri. Aku tidak bisa menolak saat pihak keluarga memberi susu formula pada si bayi yang kerap menangis. Mereka bilang bayiku kelaparan karena ASI-ku sangat sedikit dan itu tidak cukup. Apalagi dia anak laki-laki yang harus banyak menyusu. Dengan berat hati aku pun mengikuti suara terbanyak untuk memberikan susu formula pada si bayi. Namun aku tetap bertekad agar bisa sesegera mungkin menyusuinya langsung. Setiap ada kesempatan aku memompa ASI dan menyimpannya, memberikannya bergantian dengan susu formula.

Alhamdulillah, pada hari ketiga ASI-ku akhirnya cukup lancar dan deras. Bayiku kembali menyusu langsung. Terbukti dia lebih tenang, lebih, nyaman, dan menyusu lebih sering. Payudara mulai penuh dan harus dipompa agar tidak merembes. Dengan fakta itu saja aku sudah luar biasa bahagia.

Untungnya susu formula yang dibeli cuma sekotak, dan agar tidak mubazir kami hanya memberikannya ketika si bayi kutinggal untuk urusan pribadi dan sedang ditunggui oleh anggota keluarga yang lain.

Tepat seminggu ketika stok susu formula habis, aku makin aktif menyusui dan memerah ASI untuk disimpan. Waktu itu memang ada wacana aku kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Karena sangat menyesali pemberian susu formula dan berharap dapat memenuhi ASI Eksklusif (6 bulan), aku pun giat menimbun stok ASIP.

Qadarullah, baby Ari ternyata lebih senang menyusu langsung daripada minum ASIP dari dot. Dia mengalami bingung puting, sehingga selama beberapa waktu harus minum ASIP secara manual dengan sendok. Kemudian Allah kembali menolong memantapkan hatiku untuk resign dari kantor. Akhirnya aku kembali menyusui baby Ari dengan penuh semangat dan cinta kasih. Melihatnya tumbuh sehat dan gembul, ya, bahagiaku cukup sesederhana itu.

Berkat ASI Eksklusif aku auto mengalami kontrasepsi alami. Salah satu keinginanku yang akhirnya lunas. Selama hampir 11 bulan aku tidak mengalami menstruasi dan merasa baik-baik saja, kecuali belum mampu menjalankan puasa Ramadhan sebagai busui aktif. Namun sebelum baby Aris genap berusia setahun, aku kembali datang bulan. Sedih sekali rasanya...

Bulan-bulan berikutnya menstruasiku kembali pada siklus sebelum hamil, tapi dengan flow yang lebih berat. Menyadari KB laktasiku sudah usai, aku mulai belajar menggunakan KB kalender dan perhitungan masa ovulasi. Jadi, aku memang sengaja tidak menggunakan alat kontrasepsi resmi dan lebih berusaha mengontrolnya secara manual.

Everything was very fine, sampai pada penghujung 2017 aku sudah lupa kapan terakhir kali menstruasi. Tbh, I was so afraid what if I got pregnant, since baby Ari was just 18 months old, dan masih menyusu. It was my biggest worried. Terlalu tidak tega jika tiba-tiba harus menyapihnya, berharap masih mampu memberikan haknya hingga 2 tahun.

Januari 2018, it confirmed that I got pregnant. Speechless. It felt like bless and frightened. Jujur, di satu sisi merasa gambira dan bersyukur, sementara di sisi lain galau karena merasa tidak percaya diri akan mampu mengatasi semuanya sekaligus. Terutama kewajiban sebagai busui yang belum lunas tertunaikan.

So, I thanked to the doctors and nurses who positively help me through my dilemma. Gave me strength and supported me that since my pregnancy all was well, I still can give direct-breastfeeding to my first child. And yess! Aku mampu menjalankan peran ganda sebagai bumil dan busui. Tentu saja mengantisipasi berbagai macam skenario terburuk, kami tetap melakukan sounding kepada baby Ari bahwa dia sudah besar dan segera menjadi kakak, makanya dalam waktu dekat tidak boleh nenen bunda lagi. Sounding tersebut selalu kusampaikan sejak awal kehamilan sampai tiba akhir masa menyapih.

Beberapa saat setelah ulangtahun keduanya, baby Ari secara sukarela minta tidur dengan ayah atau mbahbuk, sementara bunda sengaja 'sok sibuk' demi menghindari rutinitas nenen sebelum tidur. Kegiatan tersebut berjalan selama kurang lebih sepekan hingga akhirnya baby Ari benar-benar lepas dan berpisah dari nenen.

Dan begitulah, kakak Ari berhasil lulus ASI 2 tahun dan sukses melewati masa penyapihan tanpa drama. Win win solution, lah. Debay dapat tumbuh sehat, normal sesuai chart dan kakak tetap terpenuhi masa menyusunya.

Ada efek sampingnya kah, tetap menyusui selama hamil?

Insyaallah, bersambung di '4 Tahun Menjadi Ibu ASI (Bagian 2)' selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*