Selasa, 11 Februari 2014

Do(not) Love Me

If there is anyone else loves me, all i can do is bringing up my corpse to her. Here, inside, there is a soul of me that i won’t share it anymore to anybody else.
Thanks to you for being my morning tears. I wish you wouldn’t say such thing like that. I didn’t get why the hell you could say so, but i hate it. I hate the way you said that hell thing easily. Why? Why you? Why me, the one who you sent that message to?
It definetely reminded me to a sad story which is very similiar with your words.
Aku ingat seseorang yang patah hatinya di pagi hari tepat ketika ia baru saja terbangun dari mimpi indahnya, semalaman bersama sang pangeran pujaan.
Jika seseorang lain mencintaiku, aku hanya bisa membawakan mayatku padanya, di dalam sini ada jiwa, yang tak ingin kubagi-bagi lagi.
Tidakkah itu berarti, “Apapun yang sudah dan akan kau lakukan nanti –demiku– tidak akan kubuka hatiku untukmu –untuk siapapun juga– karena jiwaku sudah kupersembahkan padanya.”? Artinya semua usaha dan doa akan sia-sia saja. Mencintai seseorang yang telah terambil jiwanya adalah suatu kebodohan gila.

Itukah yang sesungguhnya ingin kau katakan? Ingin memperkecil hatiku yang sudah kerdil, eh? 
Arre pikir sudah benar hatinya memilih Tian sebagai calon kawan masa depannya. Tian yang sahabat lamanya, yang ia tahu persis bagaimana bibit, bebet, dan bobotnya. Tian yang sering datang ke rumah Arre, mengantar-jemput gadis itu ke kampus, mengerjakan tugas kuliah bersama-sama, bahkan mencuri pinjam snack dan komik milik Arre. 
Di tengah-tengah persahabatan hangat itu, siapa sangka cinta akan tumbuh? Awalnya Arre sempat gelisah saat mengenali perasaan salah tingkahnya terhadap Tian beberapa bulan terakhir sebagai permulaan rasa sukanya pada pemuda berkepribadian menyenangkan itu. Tapi kemudian seiring berjalannya waktu Arre sudah bisa mengendalikan hatinya yang sering mendadak hiperaktif ketika bertemu Tian. Arre ingin mengutarakan perasaannya pada Tian ketika waktunya tepat.
Arre boleh jadi percaya diri, sebab selama persahabatannya dengan Tian gadis itu sangat yakin Tian belum memiliki kekasih, dan jarang sekali membicarakan masalah perempuan di hadapannya. Sikap Tian juga selalu manis pada Arre, membuat Arre meyakinkan hati bahwa Tian (mungkin) juga menyukainya. 
Benarkah begitu? Mungkinkah Tian akan benar-benar menerima perasaan Arre?

Sayangnya, ini bukan cerita rekaan tentang Cinderella, Ariel si Putri Duyung, bahkan Snow White yang memang sudah dikisahkan akan berakhir bahagia dengan pangeran masing-masing di akhir cerita. Ini bukan dongeng yang sudah tertebak Happy Ending-nya.
Kenyataan bahwa dunia Tian, kehidupan Tian tidak hanya berkutat di Surabaya saja, kota tempatnya menuntut ilmu selama di bangku kuliah. Tentu saja pemuda itu memiliki kehidupannya sendiri, hari-hari di kota kelahirannya, Mojokerto. Ia punya keluarga, saudara, teman masa kecil, mantan pacar saat SMP/SMA, bahkan mungkin seseorang yang masih menjadi kekasihnya. Siapa tahu? Apakah Arre tahu? Haruskah Tian menceritakan segala-galanya pada gadis yang baru dikenalnya tidak lebih lama dari usia statusnya sebagai mahasiswa.

Sakit bukan, bahwa harapan yang mati-matian ingin diwujudkan namun sudah dipastikan tidak akan terkabul bahkan sebelum harapan itu sempat diselipkan dalam doa? Pahit harus ditelan bulat-bulat oleh Arre, si gadis malang yang cintanya terlanjur layu sebelum berkembang.
Miris? Kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*