Jumat, 21 Februari 2014

#SuratValentine Untuk Nada

Kepada
Yang terkasih,
Nada
di
Lubuk hatiku


Dear, Nada…
Selamat senja!

Aku tak kuasa berhenti tersenyum membayangkanmu tengah membuka surat ini, ditemani oleh rasa penasaran yang terus merayumu untuk segera membacanya hingga akhir. Surat ini kutulis saat matahari jingga sudah tinggal tiga perempat bagian. Cahaya merah keemasan yang seolah membakar langit barat demikian benderangnya, membuatku sempat yakin jika tidak segera beranjak, tidak lama lagi pasti lidah-lidah api matahari akan sampai di beranda lalu membakar habis suratku. Tidak, tidak boleh terjadi sesuatu yang buruk pada surat ini. Tidak selama kamu belum membacanya sampai habis.

Nada, ketika surat ini tiba di hadapanmu dan terbaca olehmu, aku senantiasa berharap kamu baik-baik saja. Sebagaimana aku yang selalu baik meski semalaman kemarin hingga dini hari tadi masih gelisah memikirkan apa yang sebaiknya kutuliskan untukmu dalam surat ini. Menurutmu seharusnya surat ini berisi apa? Apa kuisi saja ia dengan perasaanku? Perasaanku yang kini dilanda prahara akibat sudah terlalu lama kita berdua tidak bisa melewatkan waktu bersama.

Iya, kamu benar, Nada. Kamu tahu persis bahwa kamu selalu benar tentang apapun, termasuk perasaanku padamu. Maka melalui surat ini aku ingin sekali memberitahukanmu perasaanku. Tentang sebanyak apa aku memikirkan dirimu sepanjang hari, dimulai sejak aku membuka mata hingga tubuh ini tak mampu lagi terjaga. Tentang bagaimana gelisah hadir setiap kali kububuhkan tanda silang pada tanggal-tanggal dalam kalender saat waktu berjalan demikian lambat menuju hari di mana kita bisa bertemu. Tentangku yang tidak bisa tidak otomatis teringat padamu setiap kali mendengar lagu-lagu kita akrab menyapa telingaku, entah itu dari radio, dari acara musik di televisi, mengalun di speaker café saat aku ngopi bersama teman-teman, diputarkan oleh rekan kerja di kantor sengaja untuk menggodaku yang segera melamunkanmu, di mana saja.

Ingatkah kamu? Pernah kamu menemaniku bernyanyi saat hari hujan dulu. Aku yang sebelumnya selalu iseng asal bersenandung tiba-tiba saja jatuh hati padamu, yang sempurna sekali mengiringi nyanyian kacauku dengan permainan gitar akustikmu. Kemudian sekejap saja kamu dan aku, kita semakin terbiasa membagi segalanya berdua. Bisakah menghitung, berapa banyak lagu yang sudah kita nyanyikan bersama di senja itu, kala menunggu pelangi tiba?

Saat itu kita masih begitu muda. Kita hanya tahu cita, asa, dan bahagia. Tak peduli apapun lagi selama kita masih bisa bernyanyi. Enyah saja lainnya, hingga waktu membawa jarak dan kenyataan yang tak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Kamu harus berada jauh dariku sementara waktu. Bahwa aku tidak lagi bisa melihatmu setiap hari. Tidak bisa memintamu datang sekiranya aku tak tahan ingin bertemu. Kamu tahu aku tidak pernah menginginkan apapun. Cukup kamu ada bersamaku. Itu saja. Cukup dengan kamu di sini dan menyanyikanku lagu-lagu favorit kita. Aku tidak akan meminta apapun lagi. Tuhan sudah memberiku yang terbaik, yakni dirimu.

Padamu Nada, aku benar-benar merasa... Ahh, bagaimana orang biasa menyebut perasaanku ini? Hasrat ingin membenamkan tubuh tak berdayaku dalam peluk hangatmu tanpa ada usai. Hanya aku dan kamu, lalu segera bahagia akan mengekori kita dengan sendirinya, tanpa ada jeda, tanpa ada jika.

Nada, kekasihku... Apakah kamu merasakan perasaan yang sama dengan yang sedang kurasakan sekarang? Sungguhkah? Aku tahu kamu pun tak sabar ingin bertemu denganku. Tapi, jangan. Tolong jangan sebut perasaan indah itu dalam kata. Biar kita merasakannya dalam hati saja. Biar kita meresapinya sambil menanti perjumpaan kita selanjutnya. Karena tidak semua kata bisa menjelaskan tepat seperti apa yang hati kita rasakan. Ya kan, Nada?

Baiklah, akan segera kusudahi surat ini. Tampaknya kamu pun sudah mulai bosan membacanya. Hahaha... Tentu saja, ini tidak seperti komik Naruto kegemaranmu. Tapi, kamu belum mengantuk, kan? Tenang saja, sedikit lagi. Hanya tinggal beberapa kata lagi dan aku akan melipat surat ini lalu memasukkannya dalam amplop bersamaan dengan raja siang yang hendak berpulang dipeluk petang. Menyisakan semburat jingga di langit yang mulai beralih lembayung. Syukurlah, jika kamu tuntas membaca surat ini di sini, artinya matahari tidak jadi membakar suratku dengan lidah-lidah apinya. Ia rupanya iba padaku yang sangat ingin menghadiahimu surat ini sebagai tanda kasihku untukmu. Terima kasih sudah menjadi segalaku, Nada.

Sampai jumpa segera!

PS : Jariku sedikit terfoto. Tapi bagus, tidak? Baiklah, aku tahu lukisan senjamu jauh lebih bagus.


Beranda, 13 Februari 2014
Sincerely
The one who wants you the most,



R. Ch. Auliya Sari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*