Jumat, 27 Juni 2014

The First Yellow Card of 2nd Session

Well, Jumat. Aku selalu mencintaimu. Aku adalah kamu, Jumat itu sendiri. Tidak bisakah kita hentikan ini, bukan saja untuk saat ini, tapi demi ketentraman bersama seterusnya?
Berhenti menghujat Jumat. Aku mengingatkan diriku sendiri. Selalu. Ketika ada sesuatu yang tak pernah ingin kubayangkan terjadi, aku akan repot jika tidak bisa menemukan apapun untuk kulimpahi kesalahan. Memang Jumat tidak mungkin bersalah. Tahu betul hal itu. Tapi, apalagi yang bisa menyalurkan buncah-buncah sesak hatiku oleh besarnya kecewa?

Sampai tadi siang, semuanya baik-baik saja. Kami berbincang gembira seperti biasa. Hingga satu pertanyaan sederhana atas keingintahuanku, menimbulkan buntut percakapan sensitif yang seharusnya bisa kukendalikan arahnya.

Akhirnya ia mau bercerita. Mengenai sesuatu yang sangat peka tentang dirinya dan orang-orang terdekatnya. Sebuah kisah jauh dari dongeng indah yang kapan lalu sempat pernah akan ia ceritakan namun urung. Siang tadi ia berinisiatif untuk membaginya denganku.

Line chat BBM yang didominasi olehnya, dengan sepasang mataku yang tak berkedip menatap pendar tulisan mulai muncul baris demi baris. Melahirkan tutur demi tutur, sebuah kisah. Yang meski aku tak begitu mengerti, tapi bisa kupahami seberapa banyak dan besar rasa sakitnya.

Aku menangis. Mendekap mulutku yang bergetar tanpa suara. Tangan-tanganku berlepotan menyeka air mata yang tak mau surut. Aku demikian sedihnya. Hatiku sungguh-sungguh merasakan sakit itu. Seolah itu bukan hanya satu kisah di belahan Indonesia lain yang tak terjamah olehku. Seperti itu bukan sekadar dongeng tidak menyenangkan yang dialami suatu karakter yang tidak kukenal.

Tapi itu adalah hari-hari yang memang dilaluinya. Kisah itu masih berjalan, tanpa tahu para pelakunya sudah tidak ingin menjalani lakon masing-masing. Terlalu berat. Terlalu sedih. Terlalu banyak yang disayangkan. Dan aku terlalu bodoh. Cuma bisa menitikkan airmata tanpa tahu sebab. Tanpa berpikir punyakah hak untuk menangisi sesuatu yang bukan kewajibannya? Apakah ada perlunya kuketahui kisah itu, atau tidak? Tidakkah aku berarti sesuatu baginya?

Memang tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain membiarkan sepi itu menyusup dan tinggal dalam hati. Mengijinkan kelu yang tertinggal di ujung lidah tapi tak kuasa disampaikan oleh tepian jemari agar ia tahu bahwa dirinya tidak sendiri. Aku ada, walau sama sekali tak tampak berguna. Setidaknya aku tidak pernah punya keinginan untuk pergi meninggalkannya.

Pikirnya aku terlalu lancang. Mungkin tidak menghargai. Berpikir seolah itu bukan hanya satu kisah di belahan Indonesia lain yang tak terjamah olehku. Seperti itu adalah dongeng tidak menyenangkan yang dialami suatu karakter yang tidak kukenal. Tanpa mau sungguh-sungguh peduli bahwa itu adalah kisahnya. Aku secara lancang menyatakan perasaanku atas kisah kekasihku.

Sebuah kartu kuning sudah dikeluarkan. Ia mogok BBM-an. Malas chatting, dalihnya. Gencatan senjata. Aku menyerah. Setelah meninggalkan update-an PM yang berbunyi:
"I wanted you to know that I love the way you laugh, I wanna hold you high and steal your pain away...
Sebuah lagu yang mewaliki isi hatiku siang-sore ini. Broken.

Cepat baikkan hatimu, Chagiya. Aku mana tahan terus-terusan kau diamkan begini? Hontou ni gomen ne, aishiteiru. :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*