Senin, 16 Februari 2015

Sebelum Surat Ke-18

Hai, kalian, kesepuluh surat yang tertinggal...

Kalau aku tidak salah, harusnya ini surat kedelapanbelas dan memang demikian jika dihitung sejak surat pertama di hari pertama #30HariMenulisSuratCinta dimulai. Kalian harus tahu bahwa aku pun sangat menyayangkan keberadaan surat sebelum kalian yang hanya sejumlah delapan, lalu ketika giliran kalian tiba surat kesembilan hingga ketujuhbelas– hitungan surat-surat tersebut akhirnya kacau.

Aku tahu kalian pasti sedih. Menyangka kalian bersepuluh tidak cukup baik hingga tidak sempat ditulis. Tapi percayalah –aku jamin– penulis kalian tidak pernah melupakan kalian. Mungkin, dia hanya... Yah, berbagai persoalan terjadi di dunianya yang tidak hanya seputar tulis-menulis pun surat-menyurat. Biar kukatakan pada kalian, dia sedang dalam fase yang oleh manusia-manusia itu sebut: galau.

Apakah aku tahu yang kalian tidak tahu? Jadi begini, aku akan menceritakan sedikit tentang penulis kalian, semoga setelah itu kalian benar-benar mempercayainya dan tidak lagi marah apalagi membencinya.

Tahukah bahwa penulis kalian sedang jatuh cinta? Perempuan muda itu tengah begitu bersemangat memperjuangkan cintanya menuju jenjang yang lebih mulia. Kalian mengerti maksudku? Ya, tentu saja, sang penulis berencana menikah dengan prianya dalam waktu dekat.

Sayangnya menurut mereka, praktek tidaklah semudah berkata-kata. Tahap demi tahap yang harus dilalui menuju pernikahan itu rupanya sama sekali tidak mudah bagi penulis. Bisakah kalian bayangkan?

Ketika dua perasaan telah bermuara, langkah berikutnya adalah menyatukan dua pihak keluarga. Bermusyawarah mencari hari terbaik untuk mengikat janji suci. Dari yang kutahu, pasangan kita ini hidup di zaman segalanya-bisa-dibuat-serba-gampang-dan-repot. Mandiri, berdua, mereka memutuskan untuk mengusahakan kebahagiaan mereka dengan kemampuan sendiri, dan sedikit sumbangsih keluarga.

Namun ada aja permasalahan terjadi. Hari baik yang tidak sesuai perkiraan –hingga akad dimajukan dan jatuh di tanggal merah saat KUA libur, tamu undangan yang belum fix jumlahnya, tentang jenis undangan souvenir yang juga belum ditentukan temanya padahal sudah H-3 bulan.

Sudah begitu, komunikasi di antara keduanya mulai berkurang karena kesibukan masing-masing. Penulis kalian sering cemas lantaran BBM-nya tidak kunjung dibalas. Sedangkan sang pria mengeluhkan sikap penulis yang dianggapnya terlalu posesif.

Belum lagi gangguan-gangguan dari mantan pacar yang susah move on darinya, sementara pacar baru mantan tersebut juga tak henti memburu. Kelewat cemburu.

Konflik kian menjadi saat penulis mengetahui bahwa sang kekasih ternyata masih kontinyu bertukar kabar dengan mantan. Meski tahu percakapan di antara masalalu itu hanya sebatas silaturrahmi, ia merasa gelisah. Pikiran-pikiran buruk berkecamuk. Benarkah hati kekasihnya sedang diuji? Antara tetap fokus hanya pada dirinya, atau harus berbaik santun dengan mantan?

Dan, yang menurutku paling disayangkan, penulis kalian mulai mempertanyakan kualitas dirinya sebagai calon pengantin wanita. Mulai membanding-bandingkan dirinya dengan para mantan sang kekasih. Tanpa sadar, sikapnya berubah skeptis. Menimbulkan pertanyaan bagi sang pria yang bahkan tak tahu menahu masalah psikis penulis.

Lalu dengan kondisi batin yang demikian, jangankan rutin menulis surat, siklus hidup penulis saja sudah tidak teratur lagi, kan? Aku benar-benar merindukan penulis yang mencurahkan perasaannya lewat tulisan. Penulis kan, selalu total dalam membagi perasaannya. Entah saat harinya sedang baik, pun ketika peruntungan terburuk.

Sama seperti kalian. Aku pun menyukai penulis ini. Jadi, berhentilah mendiamkannya.

Ahh, kenapa hati manusia rumit begini?

Haruskah kita membantunya menuliskan surat tentang perasaan mereka?



Senja sepuluh hari kemudian, 16 Februari 2015,


Tinta Hitam
Surat Ke-18 #30HariMenulisSuratCinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*