Selasa, 17 Februari 2015

Untuk Apa Mengkambinghitamkan Kambing Hitam

Kucing Hitam yang baik,

aku bahkan tidak tahu haruskah aku membuatmu sakit mata demi membaca tuntas isi surat ini. Tapi karena kau sangat baik hati dan sudah repot-repot memikirkan kebaikanku, semoga matamu selalu sehat, Kucing Hitam.

Sepulang dari pertemuan kita senja lalu, aku terus memikirkan perkataanmu, juga pertanyaanmu, yang jujur saja tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya.
"Kambing Hitam, sungguh, sampai di mana batas kesabaranmu? Banyak sekali di luar sana yang senang bersalahpaham atasmu, dan kau cuma membiarkannya saja!" 
Kau bahkan mengucapkannya sambil sesenggukan menahan airmata. Aku mengerti maksudmu, hanya saja yang tidak kupahami adalah... Entahlah, aku hanya tidak terbiasa mencampuri pemikiran orang lain terhadapku. Itu saja.

Apa pendapat mereka tentangku, bagaimana cara pandang mereka terhadapku, sekalipun memang tidak jarang namaku disebut-sebut atas sesuatu yang aku tidak tahu.

Aku tidak peduli.

Makhluk Tuhan yang manapun adalah yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Begitu pula dengan jiwa dan hatinya masing-masing. Aku tidak pernah berpikir bahwa mereka lebih buruk dariku, sama halnya aku yang tidak lebih baik dari siapapun dalam hal apapun. Semua pribadi memiliki porsinya sendiri-sendiri. Begitulah aku ada. Begitulah kau ada.

Yang terjadi kemudian, beberapa pribadi lebih senang mengeksplor kemampuannya sendiri. Beberapa pasrah saja pada yang sudah ada. Dan sisanya, karena -mungkin- terlalu bosan dengan dua hal sebelumnya, ya, adalah mereka yang senang mengurusi urusan orang lain.

Tidak, Kucing Hitam. Kau bukanlah satu dari yang terakhir. Karena kau sungguh-sungguh mempedulikanku. Terlepas dari kesamaan warna tubuh kita -hitam- aku sangat berterimakasih dan bersyukur atas dirimu. Karena Tuhan telah dengan sangat baik menempatkan kita di sisi yang sama.

Hanya saja, berbeda denganmu yang hidup dengan kebanggaan atas dirimu sendiri, atas warna hitammu, aku lebih senang menjadikan hitamku sebagai selimut hangat alih-alih tameng kokoh seperti milikmu.

Berbeda denganmu yang gagah berani menolak pemikiran yang bertentangan dengan kebenaran hatimu, aku lebih cenderung mengabaikannya. Berpikir cukup aku dan Pemilikku yang tahu keadaan sesungguhnya. Karena hanya orang bodohlah yang tidak tahu apa-apa tapi merasa tahu segalanya. Cukup diriku tahu, bahwa aku tidak sebodoh orang-orang itu.
Untuk apa mengkambinghitamkan Kambing Hitam?
Tidak akan ada untungnya. Kau tahu itu.

Jadi Kucing Hitam, tetaplah seperti apa adanya dirimu seharusnya. Pun aku yang agaknya akan tetap apa adanya diriku seharusnya. Cukup aku tahu kau ada di pihakku. Cukup aku tahu kau tahu bagaimana sebenarnya aku.

Jangan lagi menangis atas terkambing-hitamkannya aku, karena aku memanglah seekor kambing hitam dungu, yang hanya tahu tentang mencintai hitammu.



17 Februari 2015,


Kambing Hitam
Surat Ke-19 #30HariMenulisSuratCinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*