Rabu, 12 Juni 2013

21 Maret 2013

“Aku sudah benar-benar nggak bisa, Kak...” Sari menemukan suaranya bergetar hebat. Tangannya menggenggam ponsel kuat-kuat seolah benda mungil itu adalah tumpuan satu-satunya, dan akan limbung dirinya jika genggaman itu dilepaskan.
Dengan bibir yang tampak sudah tidak berdaya untuk digerakkan ia berucap lagi, “Aku sudah nyaris gila. Aku nggak akan bisa bertahan dengannya lagi. Aku nggak sanggup, Kak. Kakak harus menolongku...” Sangat lirih, tapi Sari yakin segenap energinya sudah habis untuk itu.
“Andai aku bisa menolongmu, Sayang...” Suara rendah di seberang telepon itu menyahut. Sama lirih dan sarat pilu dengan milik Sari yang didengarnya sejak tadi. Dihelanya napas panjang. Ia tahu hal seperti ini akan segera terjadi. Tapi secepat ini, adalah yang ia harap tidak pernah mau tahu.
“Bawa aku, Kak. Bawa aku pergi bersamamu, atau aku bisa mati di sini...”
Suara gadis itu kian melemah. Timbul tenggelam diantara isak tangis dan pengaturan nafas yang tak sempurna. Cahya tahu kekasihnya itu benar-benar menderita saat ini. Dan ia sangat membenci dirinya yang bahkan tidak mampu berbuat apa-apa untuk Sari.
“Sayang nggak boleh ngomong gitu.” Ucapnya pada akhirnya. “Badai ini akan segera berlalu dan kamu menghadapinya bersamaku.” Berharap kalimatnya dapat sedikit menenangkan gadis itu, dan juga hatinya yang tak henti bergemuruh. Ingin sekali Cahya mendatangi Sari untuk memeluknya. Memberitahu gadis itu bahwa Cahya bersamanya. Tapi ia tidak bisa. Semuanya tidak sesederhana itu. Tidak sesederhana impiannya dan Sari untuk bisa bersatu.
Sari kembali terisak. Bersusah payah menyusun kata. “Me-mereka semua jahat padaku. Mereka yang sangat kusayangi tega melakukan hal ini padaku.” Dan tangisnya kembali pecah.
Cahya sudah akan mengucapkan sesuatu. Bibirnya sudah terbuka namun diurungkan niatnya. Ia mendesah lagi. “Aku tahu Sayang kuat. Sayang pasti bisa melewati malam ini. Dan berjanjilah akan tetap bertahan hidup untuk bersamaku nanti.”
“Sayang masih nggak mau makan?” Pertanyaan Cahya menguap. Hanya isak tangis Sari yang bisa ia dengar, lain tidak. Terakhir kali diingatnya Sari sempat mengabarinya sudah makan siang tadi. Setelah itu Cahya yakin tidak ada apapun yang masuk dalam tubuh lemah gadis itu hingga kini. Kecemasan kembali menyusup dalam celah-celah hatinya. “Aku sama tersiksanya sepertimu, Sayang.”
Dihelanya nafas panjang. Berat sekali. “Yakin mau pergi bersamaku? Kita lihat bagaimana perkembangannya dulu. Kalau memang tidak ada pilihan untuk kita, aku akan membawamu pergi.” Janji Cahya. “Makan atau minumlah sesuatu, lalu tidur. Ini sudah hampir subuh. Dan Sayang sudah menangis sejak jam sembilan malam tadi.”
“I-iya, Kak...” Sari bersuara akhirnya. “Tapi aku tetap belum bisa tenang.”
“Kamu percaya aku, kan?” Cahya yakin Sari mengangguk pelan di seberang sana. “Berdoalah, semua akan baik-baik saja. I love you, Sayang...”
“Love you too, Kak Cahya...”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

It's my pleasure to know that you've left a comment here. Arigatou~~ *^_^*